Kriminolog UI Sebut Premanisme Bukan Kejahatan Jalanan Biasa
JAKARTA, Investortrust.id - Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala mempertanyakan urgensi pembentukan satuan tugas (satgas) antipremanisme jika pendekatannya hanya seperti operasi rutin kepolisian. Menurutnya, intensifikasi operasi terhadap pencurian, kekerasan, senjata tajam, dan penyakit masyarakat sebetulnya sudah cukup untuk menangkap berbagai pelanggaran yang berkaitan dengan aksi premanisme. Premanisme juga harus dipandang sebagai bentuk pemerasan yang terselubung, bukan hanya kejahatan jalanan biasa.
Menurut Adrianus, keberadaan satgas baru akan relevan jika premanisme dilihat sebagai bentuk pemerasan. "Meminta THR, memberi pengamanan, mempekerjakan warga lokal, kontribusi untuk ormas, itu semua hanya dalih. Substansinya adalah pemerasan, karena mereka tidak punya kapasitas atau justifikasi untuk meminta atau melakukan hal-hal itu," kata Adrianus kepada Investortrust.id, Senin (12/5/2025).
Oleh karena itu ia menilai pendekatan penegakan hukum semata tidak cukup untuk menangani persoalan premanisme. Ia menekankan bahwa premanisme seharusnya dipandang sebagai bentuk pemerasan yang terselubung, bukan hanya kejahatan jalanan biasa.
"Kalau premanisme disentuh dari segi penegakan hukum, maka yang dilihat hanya perilaku yang ada ketentuan pidananya dan bisa diproses secara hukum. Artinya, operasi premanisme sama saja dengan operasi anti kejahatan jalanan," ucapnya.
Mantan Komisioner Kompolnas tersebut juga menyoroti preman berkedok organisasi masyarakat seringkali mengeklaim telah memberikan rasa aman. Namun kenyataannya keberadaan mereka justru menciptakan ketidakamanan.
Menurutnya, fenomena premanisme merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor sosial dan struktural. Berbagai faktor yang memunculkan premanisme antara lain keterbatasan ekonomi, pendidikan rendah, mental menerabas, mobilitas sosial-politik yang macet, serta lemahnya penegakan hukum.
Adrianus juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap ormas yang kerap menjadi tempat berlindung para pelaku premanisme. Ia menilai peran Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina politik dan regulator ormas perlu dikritisi.
"Masalahnya, semua orang baru ribut jika ormas sudah menciptakan keresahan dan kemudian menuding kepolisian tidak bekerja. Sebelum ribut, tidak ada yang mempertanyakan apa kerja kemendagri selaku regulator ormas dan pembina politik, misalnya," tuturnya. (C-14)

