Perdebatan Angka Kemiskinan Hanya Terpaku pada Susunan Angka Ketimbang Kemiskinan itu Sendiri
JAKARTA, investortrust.id - Ekonom Universitas Andalas, Sumatera Barat Syafruddin Karimi menjelaskan perdebatan mengenai garis kemiskinan di Indonesia terlalu terpaku dengan garis kemiskinan yang dibuat Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal, kata dia, terdapat persoalan mendasar yang tidak terletak pada ukuran angka tersebut.
“Melainkan pada kenyataan pahit yang dialami mayoritas penduduk di 60% lapisan terbawah masyarakat,” ujar Karimi, kepada investotrust.id, Selasa (10/6/2025).
Menurut Karimi, nasib para penduduk miskin itu tidak berubah meski garis kemiskinan digeser naik atau turun. Dia melihat pemerintah seakan terjebak dalam angka statistik semata.
“Mengklaim penurunan kemiskinan padahal ketimpangan ekonomi justru semakin memburuk dari rezim ke rezim,” kata dia.
Baca Juga
Anggota DEN Paparkan Usulan dan Hambatan Revisi Garis Kemiskinan Indonesia
Karimi menjelakan yang luput dibahas secara serius adalah akar persoalan sesungguhnya yaitu distribusi kekayaan dan penguasaan aset yang semakin timpang. Data Sensus Pertanian dari 1963 hingga 2023, atau Sensus Ekonomi dari 1976 hingga 2016, misalnya menunjukkan tren ketimpangan yang konsisten dan mengkhawatirkan.
Dia berharap pemerintah seharusnya berhenti mengejar angka semu dan mulai menatap realitas di lapangan. Menurunkan kemiskinan berarti menurunkan kesenjangan ekonomi.
“Tanpa upaya serius untuk mereformasi distribusi tanah, mengoreksi struktur kepemilikan aset, memperkuat sektor rakyat, dan merancang pajak yang adil, maka kemiskinan hanya akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” jelas dia.
Karimi menegaskan Indonesia punya data lengkap, punya sejarah panjang dan punya kapasitas institusi.
“Yang ditunggu hanyalah keberanian politik untuk keluar dari perangkap garis kemiskinan, dan mulai menjadikan kesetaraan ekonomi sebagai fondasi utama keadilan sosial,” kata dia.

