Bank Dunia Perkirakan Angka Kemiskinan Indonesia 60,3%, Mengapa Beda dengan BPS?
JAKARTA, investortrust.id - Bank Dunia meluncurkan World Bank Macro Poverty Outlook beberapa waktu lalu. Indonesia sebagai negara upper middle-income country diperkirakan memiliki angka kemiskinan sebesar 60,3% pada 2024. Mengapa berbeda jauh dengan data BPS?
Hal itu karena data persentase kemiskinan World Bank menggunakan standar pengeluaran per kapita US$ 6,85 per hari. Pengeluaran tersebut dikalikan dengan purchasing power parity (PPP) 2017 yang sebesar Rp 4.756,17, bukan disetarakan dengan kurs. Jika dikalikan PPP, pengeluaran per kapita per hari masyarakat Indonesia sebesar Rp 32.579,7 atau sekitar Rp 977.393 per kapita per bulan.
Baca Juga
Manufaktur Tiongkok Anjlok, Korsel Tingkatkan Investasi di Indonesia, Rupiah Perkasa
PPP merupakan konsep untuk menyetarakan harga sekumpulan barang yang identik di berbagai negara. Asumsi persamaan kondisi ekonomi yang menjadi landasan PPP ini menjadi acuan untuk mengukur tingkat kemiskinan Bank Dunia.
Turun Bertahap
Bank Dunia memproyeksikan angka kemiskinan Indonesia akan turun secara bertahap. Diproyeksikan pada 2025 berkurang menjadi 58,7%, pada 2026 sebesar 57,2%, dan pada 2027 menjadi 55,5%.
Sementara, jika menggunakan acuan standar lower middle-income poverty rateyang sebesar US$ 3,65, angka kemiskinan di Indonesia sebesar 15,6% pada 2024. Angka ini diperkirakan turun menjadi 14,2% pada 2025.
Standar penghitungan kemiskinan internasional yang diakui Bank Dunia itu menggunakan batas pengeluaran per kapita per hari sebesar US$ 2,15.
Baca Juga
PMA Melonjak 12,7% Tembus Rp 230,4 Triliun, Total Investasi Rp 465,2 Triliun
Pendekatan perhitungan ini berbeda dari catatan yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut wali data nasional itu, angka kemiskinan Indonesia per September 2024 mencapai 24,06 juta orang atau sekitar 8,57% dari total penduduk. Berbeda dengan Bank Dunia, BPS menggunakan standar rata-rata angka kemiskinan nasional sebesar Rp 595.242 per kapita per bulan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah memang sudah punya angka standar untuk menghitung kemiskinan. Tetapi, pemerintah memberi sinyal untuk membuat standar baru mengenai penghitungan ini. “Kami lagi review lagi,” ujar dia.
Pengamat ekonomi Bright Institute Andri Perdana menyebut, angka kemiskinan yang digunakan BPS itu lebih berfungsi sebagai acuan. Penentuan garis kemiskinan yang dibuat BPS lebih menggunakan garis kemiskinan di masing-masing wilayah.
“Ini juga beda antara desa dan perkotaan. Di wilayah perkotaan Jakarta, garis kemiskinan yang dibuat sebesar Rp 846.085 per bulan. Angka ini tidak terlalu jauh dari garis US$ 6,85 PPP yang dibuat Bank Dunia. Tapi, di daerah-daerah lain, terutama di daerah rural pedesaan, garis kemiskinannya jauh lebih lebar, Rp 300 ribuan selisihnya,” ujar Andri kepada investortrust.id, Rabu (30/04/2025).
Andri menilai angka kemiskinan yang dibuat BPS berdasarkan tiap daerah tersebut cukup berdasar, meski ada keterbatasan terutama dalam menentukan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) yang menjadi salah satu aspek garis kemiskinan secara keseluruhan. Menurut dia, penggunaan garis kemiskinan ini yang menjadi target pemerintah.
“Yang sebenarnya lebih bersifat politis, dibandingkan ingin menangani kemiskinan secara fundamental,” ujar dia.
Andri menjelaskan pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap standar kemiskinan ini. Harapannya, standar kemiskinan tidak melupakan kondisi masyarakat yang memiliki pengeluaran di atas Rp 600 ribu, namun sebenarnya dalam kondisi yang masih miskin.
“Mereka harus tetap diakui miskin dan dibantu selayaknya orang miskin,” kata dia.

