Acuan Direvisi, Angka Kemiskinan Ekstrem Indonesia Naik Jadi 5,44%
JAKARTA, investortrust.id - Bank Dunia mengubah garis kemiskinan global. Salah satu perubahan yaitu penaikan angka paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) untuk mengukur kemiskinan ekstrem.
Bank Dunia menetapkan PPP 2021 untuk garis kemiskinan ekstrem sebesar US$ 3 per kapita per hari. Dengan perhitungan ini, penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin ekstrem tercatat sebesar 5,44% dari total penduduk 2024 yang sebesar 285,1 juta jiwa atau 15,5 juta jiwa.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf mengatakan, dalam jumlah absolut ada tambahan 12 juta orang tergolong miskin ekstrem menurut standar global. “Meskipun sebelumnya tidak tercatat secara resmi,” kata Arief, kepada investortrust.id, Selasa (10/06/2025).
Baca Juga
Negara Tidak Semakin Miskin
Arief menyatakan perubahan ini tidak menunjukkan Indonesia sebagai negara semakin miskin. Sebab, dengan nilai tukar PPP 2024 yang dibuat BPS sebesar Rp 6.071 per dolar AS, angka garis kemiskinan ekstrem menjadi Rp 18.213 per kapita per hari atau Rp 546.4000 per kapita per bulan.
“Garis kemiskinan nasional kita sebesar Rp 595.000 per kapita per bulan (atau Rp 19.833 per kapita per hari), Ini sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional,” kata dia.
Arief menilai ada sinyal standar kemiskinan nasional Indonesia terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia. Menurut guru besar ilmu ekonomi Universitas Padjadjaran ini, setidaknya ada empat alasan bagi Indonesia untuk turut merevisi garis kemiskinan.
Pertama, jarak yang sangat dekat dengan garis kemiskinan global justru dipakai oleh negara-negara berpendapatan paling rendah. Kedua, standar hidup sudah berubah drastis sejak 1998, tahun terakhir metode penghitungan kemiskinan direvisi.
“Negara-negara setara sudah lebih maju (dalam merevisi). Ini seperti Malaysia, merevisi pada 2018 dan Vietnam merevisi pada 2021,” ujar dia.
Baca Juga
Usai Libur Panjang, Kurs Rupiah Menguat meski Indeks Dolar Rebound
Ketiga, revisi akan berguna untuk menjadi landasan kebijakan berbasis kemiskinan. Data yang kurang mencerminkan realitas sosial bisa menyebabkan salah arah dalam penanganan kemiskinan.
“Keempat, legitimasi publik terhadap statistik kemiskinan bisa menurun jika tak mencerminkan kenyataan hidup masyarakat,” kata dia.

