Kurs Rupiah Ditutup Melemah usai OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuah Ekonomi RI
JAKARTA, investortrust.id - Nilai tukar (kurs) Rupiah ditutup melemah pada perdagangan Rabu (4/6/2025) sore ini. Berdasarkan data Jisdor Bank Indonesia (BI) kurs rupiah melemah 17 poin (0,10%) ke level Rp 16.305 per dolar Amerika Serikat (AS). Sebelumnya Jisdor mencatat kurs rupiah menguat pada level Rp 16.288 per dolar AS, Selasa (3/6/2025) kemarin.
Namun pada pasar spot, data Bloomberg menunjukkan kurs rupiah justru bergerak menguat 14,2 poin (0,09%) ke level Rp 16.294 per dolar AS hingga pukul 16.30 WIB.
Melemahnya kurs rupiah bertepatan usai Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,2% dari 4,9% menjadi 4,7% pada 2025. Pemangkasan ini merupakan kedua kalinya yang dilakukan OECD sepanjang tahun ini usai revisi ke bawah 0,3%, dari 5,2% menjadi 4,9%.
Sementara dalam laporan terbarunya, OECD Economic Outlook June 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melambat dalam waktu dekat. Pertumbuhan PDB riil diperkirakan akan melambat menjadi 4,7% pada tahun 2025 sebelum sedikit meningkat menjadi 4,8% pada tahun 2026.
Baca Juga
Kurs Rupiah Dibuka Tergelincir, Intip Sentimen Pasar Pagi Ini
Menurut pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, melemahnya sentimen bisnis dan konsumen baru-baru ini di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal dan biaya pinjaman yang tinggi akan membebani konsumsi dan investasi swasta pada paruh pertama 2025.
"Seiring dengan kondisi keuangan yang berangsur-angsur mereda, inflasi tetap berada dalam kisaran target bank sentral," kata Ibrahim dalam keterangannya, Rabu (4/6/2025).
Sementara itu, permintaan domestik diperkirakan akan meningkat secara bertahap pada paruh kedua tahun 2025 dan 2026. OECD turut menyoroti bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan global baru-baru ini dan penurunan harga komoditas diperkirakan akan membebani permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.
Ekonomi Indonesia berisiko tumbuh lebih rendah dari harapan pemerintah karena arus keluar modal yang terus-menerus didorong oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat memberikan tekanan baru pada mata uang, yang berpotensi menyebabkan pelebaran defisit transaksi berjalan untuk sementara waktu dan memicu inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi.

