Stimulus 2 Bulan: Pemantik Pertumbuhan Ekonomi
Oleh Muhammad Sirod,
Fungsionaris Kadin Indonesia/Ketua Umum HIPPI Jakarta Timur
INVESTORTRUST.ID - Pemerintah resmi menggulirkan lima stimulus ekonomi bernilai total Rp 24,44 triliun, untuk periode Juni–Juli 2025. Kebijakan ini menyasar pemanfaatan momentum libur sekolah dan awal tahun ajaran baru untuk mempercepat laju konsumsi rumah tangga, di tengah sinyal pelemahan ekonomi nasional.
Stimulus ini berbentuk bantuan tunai, subsidi beras, dan potongan iuran jaminan kehilangan pekerjaan. Selain itu, diskon tarif tol serta potongan tarif transportasi publik seperti kereta dan kapal laut.
Baca Juga
Sebagian orang mungkin langsung menyambut hal ini dengan sinis: “Rakyat butuh kerja, bukan jalan-jalan". “Stimulus kok buat wisata?” “Kenapa listrik tidak (jadi) disubsidi?”
Penulis mengerti kegelisahan itu. Tapi, di sinilah pentingnya kita melihat stimulus ini dalam kerangka yang lebih utuh—baik dari sisi kebijakan fiskal, waktu pelaksanaan, maupun segmentasi sasarannya.
Surplus Fiskal dan Deflasi: Momen Tepat
Stimulus ini bukan tiba-tiba muncul. Pemerintah mengalokasikannya dari surplus fiskal sekitar Rp 67 triliun yang berhasil dikumpulkan lewat efisiensi belanja negara.
Presiden Prabowo Subianto dikabarkan memangkas banyak pos pengeluaran tak produktif, termasuk belanja rapat-rapat seremonial dan perjalanan dinas yang tidak urgen. Hasilnya: negara hemat, rakyat yang dapat manfaat.
Baca JugaPemerintah Kita Tak Kekurangan Narasi, Melainkan Prioritas yang Produktif
Di saat bersamaan, ekonomi mencatatkan deflasi. Harga barang turun, tapi bukan karena produksi meningkat, melainkan karena rakyat menahan belanja. Ini sinyal stagnasi.
Maka dari itu, keputusan untuk 'mengegas' roda konsumsi lewat stimulus dalam dua bulan ini bisa dilihat sebagai keputusan strategis. Karena tanpa intervensi fiskal, laju pertumbuhan ekonomi RI bisa semakin melambat.
Kenapa Bukan Subsidi Energi?
Banyak yang mempertanyakan, kenapa listrik dan LPG tidak masuk daftar stimulus ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, sektor energi memiliki skema regulasi yang lebih kompleks. Membuka kembali keran subsidi butuh proses administratif dan hukum yang tidak bisa diselesaikan dalam hitungan pekan.
Karena itulah, pemerintah memilih sektor-sektor yang secara regulasi lebih fleksibel dan proses penyiapan stimulusnya bisa cepat. Sebut saja stimulus yang terkait badan usaha milik negara (BUMN) transportasi, BPJS Ketenagakerjaan, serta subsidi langsung tunai melalui basis data pekerja formal berpenghasilan rendah.
Dengan kata lain, ini soal kecepatan untuk dieksekusi. Pemerintah memilih instrumen yang bisa langsung digelontorkan dalam jangka waktu pendek tanpa menimbulkan guncangan fiskal. Dan, itu bukan kelemahan, melainkan kecermatan teknokratik.
Segmentasi Sasaran: Garuk yang Gatal
Yang menarik dari stimulus ini adalah penentuan sasarannya. Pemerintah memberi bantuan langsung kepada 17,3 juta pekerja berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta sebulan. Mereka ini bukan penerima bansos, bukan pula kelompok mapan.
Mereka adalah kelas menengah-bawah yang bekerja keras setiap hari, namun tetap hidup di ambang kekurangan. Kelompok tersebut selama ini sering luput dari jangkauan.
Penulis melihat, pemerintah mulai menyentuh 'yang cerewet tapi sering terabaikan'—yakni kelas menengah pekerja. Selama ini, mereka yang paling aktif bersuara di media sosial, yang paling sensitif terhadap perubahan harga, tapi sekaligus yang paling sulit disapa lewat program bansos klasik.
Sekarang mereka disentuh. Ini seperti 'menggaruk di tempat yang gatal'.
Liburan Bukan Sekadar Piknik
Sebagian orang mengkritisi bahwa stimulus ini hanya memanjakan orang untuk berlibur. Namun perlu diingat, lmomen ibur sekolah bukan hanya tentang pariwisata.
Saat itu, orang tua juga perlu membeli perlengkapan sekolah anak, mulai dari seragam, sepatu, buku, sampai biaya daftar ulang. Maka, bantuan Rp 300.000 per bulan selama dua bulan punya peran signifikan untuk menyokong belanja keluarga di masa-masa krusial ini.
Potongan tarif tol dan transportasi publik juga bukan semata untuk piknik. Ini soal meringankan biaya mobilitas—entah itu mudik kecil-kecilan, mengantar anak daftar sekolah, atau sekadar berpindah kerja. Potongan 20% tarif tol bagi 110 juta pengguna dan diskon kereta hingga 30% akan membuka ruang fiskal rumah tangga untuk pengeluaran lain yang lebih produktif.
Stimulus Bukan Hadiah, Tapi Pemantik
Penulis tidak bilang stimulus ini sempurna. Tapi dalam logika fiskal, langkah ini masuk akal. Pemerintah tidak menghabiskan semua surplus yang dihimpun. Dari Rp 67 triliun itu, hanya sepertiganya dipakai. Artinya, masih ada ruang untuk intervensi lain jika situasi memburuk.
Stimulus dua bulanan ini juga bukan hadiah. Ia adalah pemantik. Tujuannya bukan menyelesaikan semua masalah, tetapi menyuntikkan daya beli agar roda ekonomi tidak berhenti. Dan bagi para pelaku usaha, ini sinyal bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Konsumsi digerakkan, dunia usaha ikut terdampak.
Tentu saja, kita perlu lebih dari ini. Industrialisasi yang tengah dirancang Presiden Prabowo Subianto harus terus dikawal. Program hilirisasi pangan dan energi harus diberi nafas panjang. Selain itu, perang melawan korupsi -- termasuk dukungan realisasi terhadap Undang-Undang Perampasan Aset -- juga harus terus dikumandangkan.
Namun, kita juga perlu adil menilai. Langkah kecil yang logis, dalam waktu yang tepat, dibutuhkan juga dalam situasi sekarang ini. Lima stimulus ini memang gerakan pendek, tetapi tactical, dibutuhkan, dan layak diapresiasi. ***

