Pengamat Minta Pemerintah Perbaiki Data Penerima Stimulus Ekonomi jelang Penerapan di Kuartal II-2025
JAKARTA, investortrust.id - Rencana pemerintah untuk menggelontorkan stimulus untuk mengerek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 harus disertai dengan perbaikan data penerima. Pemerintah juga disarankan untuk meredefinisi pengukuran kemiskinan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, problematika data bisa memicu stimulus pemerintah menjadi kurang efektif. Sebagai contoh, bantuan subsidi upah (BSU) yang digelontorkan Juni-Juli 2025, menciptakan ketimpangan antara pekerja formal dan pekerja informal.
“Data BSU itu dasarnya data BPJS Ketenagakerjaan. Padahal saat pandemi dulu banyak pekerja informal dikecualikan,” kata Bhima, dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (30/5/2025).
Baca Juga
Inilah Paket 6 Stimulus Ekonomi, Dorong Pertumbuhan Triwulan II
Jika data itu kembali digunakan, dia mengatakan, pemerintah seperti mengulang kesalahan yang sama di mana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing dikhawatirkan tidak menerima BSU, karena persoalan pendataan.
Pemerintah, terang Bhima, perlu menerapkan sejumlah langkah strategis, seperti meredefinisi cara mengukur kemiskinan. Saatnya Indonesia mengadopsi pendekatan berbasis disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi.
Pendekatan ini mencerminkan kondisi kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil, serta dapat mengakomodasi faktor geografis, beban generasi sandwich, hingga kebutuhan dasar non-makanan.
Baca Juga
Imbas Tarif Trump, Pemerintah Diminta Berikan Stimulus Besar-besaran untuk Pelaku Usaha
Bhima mengatakan, upaya melakukan perubahan garis kemiskinan bukan hal yang tabu. “Negara yang merevisi garis kemiskinan untuk memperbesar porsi bantuan sosial adalah Malaysia pada 2019. Namun pemerintah Indonesia sepertinya khawatir terhadap peningkatan beban APBN untuk perlindungan sosial (perlinsos) dan subsidi, apabila data jumlah orang miskin bertambah,” jelas dia.
Kekhawatiran melonjaknya perlinsos dan subsidi ini muncul, karena masih rendahnya rasio pajak dan utang jatuh tempo yang meningkat tajam tahun ini.
Sebagai referensi, Uni Eropa telah mulai menerapkan pendekatan "hidup yang layak" sebagai parameter kemiskinan. Indikatornya tidak hanya berbasis pendapatan, tetapi mencakup literasi, kesehatan, pengangguran, hingga tingkat kebahagiaan. Model ini memungkinkan evaluasi kebijakan sosial menjadi lebih komprehensif dan objektif.
Peneliti Celios, Bara M. Setiadi mengatakan bahwa selama ini data pengangguran versi pemerintah belum sepenuhnya memasukkan data pekerja sektor informal. Selain itu, data tidak disampaikan kepada public, padahal relevan bagi perumusan kebijakan.
Baca Juga
Vale (INCO) Tunjuk Anak Usaha United Tractors (UNTR) sebagai Kontraktor Tambang Blok Pomalaa
“Kami temukan data proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR meningkat tajam dari 63% pada 2021 menjadi 84% pada 2024. Sementara itu industri transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi mencatat persentase tertinggi pekerja overworked dengan rata-rata jam kerja mencapai 48 jam per minggu,” kata Bara.
Menurut Bara, ojek online (ojol) pun ditemukan bekerja dengan jam kerja lebih panjang. Rata-rata ojol bekerja 54,5 jam per pekan, sementara pekerja lainnya rata-rata 41,5 jam per pekan. Fakta ini membuktikan ojol jadi pekerjaan yang rentan tanpa perhatian serius dari pemerintah.
“Kami mendorong adanya data tenaga kerja yang lebih akurat soal pekerja di gig economy, sejalan dengan maraknya perpindahan dari korban PHK ke pekerja informal,” tuturnya.

