Tarif Trump Mengarah Senjakalaning AS, Bagaimana Indonesia Bersikap?
Oleh Tri Winarno,
mantan Ekonom Senior
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Bank Indonesia
INVESTORTRUST.ID - Dalam adegan terkenal dari serial televisi Amerika Serikat populer, Succession, kepala keluarga yang cerdas dari kerajaan media milik keluarga menjadi marah, saat mengetahui tidak seorang pun anak-anaknya tahu harga satu galon susu. Dia memahami bahwa kesenjangan antara para pembuat keputusan dan orang-orang biasa seperti itu merupakan pertanda kepemimpinan yang gagal. Sekarang, ketegangan yang sama terjadi bukan di layar TV, tetapi di Gedung Putih.
Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan tarif impor tertinggi dan paling luas dalam sejarah modern. Diduga sebagai respons terhadap 'keadaan darurat' nasional, pajak impor ini dimaksudkan untuk meningkatkan harga barang-barang asing hingga manufaktur dalam negeri AS menjadi kompetitif – meski biaya tenaga kerja AS jauh lebih mahal.
Meski banyak yang setuju Amerika harus mempertahankan kapasitas untuk memproduksi barang-barang tertentu yang penting dan strategis, tarif yang luas seperti itu akan meningkatkan inflasi di AS secara signifikan. Saat ini, banyak importir dan pengecer AS mungkin menghindari kenaikan harga dengan harapan tarif akan dibatalkan. Namun jika tarif tetap berlaku, maka strategi penetapan harga akan berubah secara drastis.
Gedung Putih tampaknya tidak terganggu oleh prospek ini. Menurut Menteri Keuangan AS Scott Bessent (mantan manajer dana lindung nilai), "Akses ke barang-barang murah bukanlah inti dari impian Amerika." Atau, seperti yang dikatakan Trump sendiri: "Yah, mungkin anak-anak akan memiliki dua boneka, bukan 30 boneka.Dan, mungkin dua boneka itu akan berharga beberapa dolar lebih mahal dari biasanya."
Baca Juga
Tanggapan Kontras dibanding Pasar Keuangan
Pernyataan meremehkan tentang konsekuensi bagi konsumen Amerika ini sangat kontras dengan tanggapan penuh perhatian pemerintah terhadap pasar keuangan bulan lalu. Ketika pasar obligasi goyah dan para pembesar Wall Street mengeluh, Trump memberikan penangguhan tarif tertinggi kepada sebagian besar negara.
Trump dan para penasihatnya meremehkan dan salah menggambarkan kesulitan ekonomi riil masyarakat AS, yang dapat ditimbulkan oleh tarif tinggi. Sebagian besar warga Amerika sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Pendapatan sebelum pajak yang dibutuhkan oleh rumah tangga dengan dua orang dewasa dan dua anak untuk memenuhi kebutuhan dasar (perumahan, pengasuhan anak, makanan, transportasi, biaya pendidikan, pakaian, dan barang perawatan pribadi) adalah US$ 106.903 pada tahun 2024. Namun, sekitar 60% rumah tangga berpenghasilan kurang dari US$ 100.000 per tahun, 50% kurang dari US$ 86.000, dan sekitar 14% kurang dari US$ 25.000.
Bahkan, jika salah satu orang tua berhenti bekerja untuk menghemat biaya pengasuhan anak, pencari nafkah tunggal akan membutuhkan US$ 85.074. 'Kebutuhan pokok' juga tidak termasuk makan di luar, kegiatan rekreasi, liburan, tabungan, atau pensiun dan investasi keuangan jangka panjang lainnya. Ini adalah 'kemewahan' yang membutuhkan lebih banyak uang.
Tidak mengherankan, sebagian besar kebutuhan pokok dipenuhi dari impor yang menawarkan harga murah. Sekitar 59% buah dan sayuran segar yang dikonsumsi di AS (termasuk 90% pisang dan 70% tomat) diimpor, demikian pula 25% jus jeruk. Anak-anak yang sedang tumbuh secara teratur membutuhkan pakaian dan sepatu baru, yang lebih dari 95% di antaranya diimpor.
Hal yang sama berlaku untuk perlengkapan sekolah: dua pertiga dari semua pensil yang dijual di AS diimpor, demikian pula banyak buku dan kertas yang digunakan untuk mencetak buku di dalam negeri. Barang-barang pribadi untuk orang dewasa juga akan terpengaruh. Misalnya, hampir semua pisau cukur diimpor.
Dengan demikian, kenaikan harga akibat tarif akan membuat hidup lebih sulit bagi keluarga Amerika dalam berbagai cara yang melampaui kepemilikan sebuah 'boneka'. Anak-anak Amerika akan makan lebih sedikit makanan segar, mengenakan lebih sedikit pakaian baru, dan memiliki lebih sedikit buku, pena, dan kertas untuk belajar membaca dan menulis.
Tentu saja, kurangnya empati pemerintahan Trump bukanlah hal yang mengejutkan. Tidak ada satu pun pembuat kebijakan ekonomi terkemuka Amerika yang harus memikirkan harga makanan, buku, pakaian, atau satu galon susu untuk waktu yang sangat lama. Trump sendiri mewarisi US$ 413 juta, dan penasihat ekonomi utamanya adalah pemodal yang sangat kaya. Bessent dilaporkan memiliki kekayaan lebih dari US$ 521 juta, dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick memiliki kekayaan lebih dari US$ 2 miliar.
Baca Juga
Bahkan ketika pemerintah AS mengakui tantangan yang ditimbulkan oleh tarif, hal itu mencerminkan perspektif industri, bukan konsumen. Trump mengecualikan ponsel pintar, komputer, dan barang elektronik lainnya karena CEO Big Tech mengajukan keberatan, dan tidak banyak menyebutkan rumah tangga Amerika bergantung pada laptop dan tablet impor yang terjangkau untuk bekerja dan belajar.
Jika tarif dikenakan pada barang-barang ini, teknologi utama akan menjadi tidak terjangkau bagi banyak warga Amerika. Dan Tim Trump tidak tahu itu, karena mereka lahir dari kelompok the have yang tidak punya kepekaan sosial.
Tak Boleh Korbankan Empati terhadap Masyarakat
Semua ini bukan berarti pengusaha sukses tidak boleh bekerja di pemerintahan. Ada banyak manfaat memiliki pembuat kebijakan dengan pengalaman di dunia nyata, yang mengetahui cara kerja internal pasar keuangan.
Namun, kredensial seperti itu tidak boleh mengorbankan empati terhadap masyarakat awam. Rakyat Amerika membutuhkan pemimpin yang tahu berapa biaya kebutuhan pokok, dan memahami apa arti harga yang lebih tinggi bagi kehidupan sehari-hari mereka. Saat Trump dan kabinetnya bernegosiasi dengan mitra dagangnya, mereka perlu mengingat bahwa sebagian besar pemilih Trump adalah orang Amerika yang awam tersebut.
Dan kalau kebijakan itu berlanjut, maka jalan menuju penurunan kesejahteraan masyarakat AS sedang terbuka lebar. Masa kebesaran AS akan semakin memudar, yang berarti Negeri Paman Sam sedang menuju senjakalaning (kemunduran).
Dan sepertinya takdir sejarah telah ditetapkan oleh 'langitan' -- lewat tangan Trump -- menuju AS yang semakin tidak termakmurkan. Karena itu, kita tidak usah terkaget-kaget menyaksikan episode sejarah menuju senjakalaning AS tersebut, karena hal itu pada hakekatnya adalah sunatulloh (hukum alam).
AS terlalu lama menjadi hegemoni global, mesinnya sudah kelelahan dan tidak mampu lagi menopang arus sejarah. Dan yang terpenting bagi Indonesia, jangan terlalu melihat AS seperti dulu tatkala pangsa ekonominya pernah mencapai 41% dunia, dan kekuatan soft power maupun hard power-nya masih mendominasi dunia.
AS sudah memudar dan melayu dengan cepat dibawah komando Trump. Karena itu, bagi negara seperti Indonesia harus fokus pada kesejahteraan dalam negeri dengan berpegang teguh pada ketahanan pangan, ketahanan energi dan keamanan nasional.
Tidak usah terlalu terpaku pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang ukurannya masih rancu. Sejahterakan masyarakat melalui penyerapaan tenaga kerja sebesar-besarnya, jangan terlalu ambisius dengan proyek proyek mercusuar yang dapat menjadi boomerang bagi pemerintah. Realistis saja, sesuaikan dengan anggaran yang seimbang, jangan besar pasak daripada tiang. Megaproyek apa pun yang tidak urgen harus dilempar jauh ke hutan, serta makan bergizi gratis (MBG) disesuaikan berdasarkan kemampuan anggaran dan tepat sasaran.
Solo, 21 Mei 2025

