Ini Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2026, Pertumbuhan Ekonomi Naik 5,2-5,8%
JAKARTA, investortrust.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebagai pengantar pembicaraan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Dalam paparan di hadapan parlemen, pemerintah Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2026 naik dari asumsi APBN 2025 sebesar 5,2% menjadi kisaran 5,2-5,8%.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 pada kisaran 5,2% hingga 5,8%” kata Sri Mulyani saat Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025, di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (20/05/2025).
Baca JugaDengan Delapan Strategi, Pertumbuhan Ekonomi 2026 Bisa Terkerek ke 5,5%-5,8%
Menuju 8% untuk Indonesia Emas
Proyeksi ini, kata Sri Mulyani, dilakukan dengan menjaga daya beli masyarakat dan inflasi yang terjaga dalam kisaran target pemerintah. Proyeksi pertumbuhan ekonomi itu juga diharapkan dapat tercapai, dengan mendorong transformasi dan reformasi ekonomi termasuk hilirisasi sumber daya alam dan perbaikan iklim investasi serta sumber daya manusia.
“Laju pertumbuhan ini menjadi pondasi kuat untuk pertumbuhan hingga mencapai 8% dalam beberapa tahun ke depan. Ini dengan terus konsisten mencapai visi Indonesia Maju 2045,” ujar dia.
Baca Juga
RDG BI, Rupiah Perkasa terhadap Dolar hingga Euro dan IHSG Terbang
Bunga SBN hingga 7,2%
Selain menetapkan target pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani menyatakan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun pada 2026 diprediksi berada pada kisaran 6,6% hingga 7,2%. Sedangkan asumsi pada APBN 2025 sebesar 7%.
Animo investor terhadap obligasi pemerintah RI didukung spread yang menarik dan kepercayaan dari investor terhadap stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal Indonesia yang baik.
“Minat beli investor di pasar surat berharga negara akan terus terjaga. Hal ini menciptakan stabilitas baik di surat berharga negara maupun nilai tukar rupiah,” ujar dia.
Sumber: Kemenkeu.
Sasaran Rupiah Rp 16.500-16.900/USD
Di sisi lain, dalam KEM-PPKF pemerintah menetapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada 2026 akan berada pada kisaran Rp 16.500-16.900 per dolar AS. Sasaran kurs mata uang Garuda ini lebih lemah dari APBN 2025 sebesar Rp 16.000 per dolar AS
Sementara, inflasi pada 2026 dalam KEM-PPKF ditetapkan kisaran 1,5% hingga 3,5%. Sedangkan dalam APBN 2025 ditargetkan 2,5%.
“Inflasi itu di kisaran 1,5-3,5%, dengan terus menjaga stabilitas harga baik dari sisi suplai dan demand,” kata dia.
Perkiraan Minyak Turun US$ 80/Barel
Tensi gejolak politik dan pelemahan ekonomi global yang memengaruhi harga minyak mentah dan berbagai sumber daya alam Indonesia menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan rencana asumsi harga dan lifting minyak mentah tahun depan. Pada 2026, pemerintah menyebut harga minyak mentah Indonesia akan berada pada kisaran US$ 60 hingga US$ 80 per barel, lebih rendah dari asumsi APBN 2025 sebesar US$ 82 per berel.
“Lifting minyak di 600.000 hingga 605.000 barel per hari. Sedangkan lifting gas pada 953.000 hingga 1.017.000 barel setara minyak per hari,” papar dia.
Sementara pada APBN tahun ini lifting minyak ditargetkan di 605.000 barel per hari. Sedangkan lifting gas pada 1.005.000 barel setara minyak per hari.
Pengangguran Terbuka 4,96%
Dengan latar belakang tersebut, kata mantan Managing Director dan Chief Operating Officer World Bank itu, kebijakan fiskal 2026 akan terus didesain untuk efektif mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menurunkan angka kemiskinan.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan angka kemiskinan tidak lebih dari rentang 6,5-7,5% pada 2026. “Sedangkan tingkat pengangguran terbuka pada rentang 4,44% hingga 4,96% (pada 2026)” kata dia.
Angka rasio gini ditargetkan juga terus membaik dalam rentang 0,377-0,380 pada 2026. Sementara Indeks Modal Manusia (IMM) ditargetkan membaik ke angka 0,57.
Efisiensi Berlanjut, Defisit Turun
Menkeu juga memastikan efisiensi anggaran berlanjut tahun 2026. Sri Mulyani menjelaskan efisiensi masih menjadi perhatian utama pemerintah, seiring dengan evaluasi terhadap pelaksanaan APBN 2025 yang sedang berlangsung. Hal ini sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto terkait kelanjutan kebijakan efisiensi.
Evaluasi ini akan menjadi salah satu landasan dalam menyusun alokasi anggaran 2026, termasuk penentuan pagu indikatif untuk kementerian/lembaga. “Kebijakan efisiensi akan tetap dijalankan secara konsisten. Kami masih akan perlu memonitor berbagai langkah-langkah efisiensi. Dan dari hati-hati tersebut, tentu nanti penyusunan APBN 2026 akan menggunakan evaluasi tahun ini,” tandas Sri Mulyani.
Mengenai proyeksi defisit tersebut, Sri Mulyani mengatakan, penting pula ditekankan optimalisasi peran APBN sebagai instrumen fiskal yang responsif dan terarah. Ia menegaskan, belanja negara harus tetap selektif dan fokus pada sektor prioritas yang memberi dampak langsung ke masyarakat dan dunia usaha.
“Kita akan lihat dari sisi proyeksi ekonomi, dari perekonomian sekarang dan tahun depan dan bagaimana mengoptimalkan instrumen APBN untuk tadi stabilisasi atau counter cyclical dan melindungi masyarakat atau dunia usaha. Jadi, kita akan tetap selektif karena APBN instrumen yang bukannya tidak terbatas,” katanya.
Pendapatan Negara dan Belanja
Berdasarkan APBN 2025, pendapatan negara ditargetkan Rp 3.005,1 triliun. Sedangkan belanja negara pada tahun ini ditargetkan menembus Rp 3.621,3 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran dijaga tidak melebihi Rp 616,2 triliun atau 2,5% terhadap PDB.
Baca Juga
Praktik Dumping Tiongkok Nyata, 2 Perusahaan Tutup dan Investasi Tertunda

