Badai Fiskal Jadi Tantangan Mengarungi 2026
JAKARTA, investortrust.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa perekonomian dunia mengalami kemunduran drastis. Saat membacakan pidato pengantar Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) di hadapan anggota DPR, Sri Mulyani menyebut tarif tinggi yang dibuat Presiden Amerika Serikat (AS) membuat tatanan ekonomi global kembali mundur ke abad ke-16 hingga ke-18 saat kebijakan Merkantilisme mendominasi dunia.
Gaya kebijakan Merkantilisme awalnya dilakukan oleh Donald Trump dengan penerapan tarif tinggi terhadap sejumlah negara penikmat surplus perdagangan, serta negara-negara yang dinilainya tidak fair dalam menerapkan tarif impor terhadap produk AS.
Merkantilisme sendiri adalah upaya memperkuat kekayaan dan kekuasaan negara dengan cara memperbesar ekspor dan menekan impor. Upaya peningkatan kekayaan negara juga salah satunya dilakukan dengan mengontrol perdagangan.
“Pengenaan tarif resiprokal AS kepada 145 negara mitra dagangnya yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April 2025, dapat dibandingkan dengan tingkat tarif ekstrem tinggi yang diadopsi AS 125 tahun lalu,” kata Sri Mulyani, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/5/2025), mengacu pada kebijakan tarif tinggi yang pernah diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat di era kepemimpinan Presiden Herbert Hoover tahun 1930 dengan kebijakan tarif yang dikenal dengan Smoot-Hawley Tariff Act.
Kondisi makin pelik. Sebab, peran World Trade Organization (WTO) yang diciptakan sebagai wadah negosiasi atas persengketaan dagang antarnegara tidak berjalan. Sri Mulyani menggambarkan dunia akan terus dalam bayang-bayang ketidakpastian akibat perang ekonomi, dagang, keuangan, dan militer.
Revisi Pertumbuhan
Ketidakpastian ini mendorong Dana Moneter Internasional (IMF/International Monetary Fund) meresponsnya dengan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2025 dan 2026. Angka revisi pertumbuhan dari IMF tentunya jauh lebih suram dari proyeksi sebelumnya.
Baca Juga
Ini Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2026, Pertumbuhan Ekonomi Naik 5,2-5,8%
Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai level 2,8%, lebih rendah 0,5 persen poin, dari proyeksi sebelum perang tarif digaungkan. Sementara, tahun depan, ekonomi global diproyeksi hanya tumbuh 3%, turun 0,3 persen poin.

Indonesia juga mengalami rembesan ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dan 2026 direvisi ke bawah menjadi 4,7% atau turun masing-masing 0,4 percentage point dari proyeksi Januari 2025.
Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, Sri Mulyani ingin pengantar KEM-PPKF yang dia bacakan jadi upaya melawan kolonialisme yang eksploitatif dan tidak adil. Dia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk meneladani peran pendiri bangsa yang menjaga, mempertahankan, dan memperkuat kedaulatan nasional.
“Indonesia harus mandiri, dengan memperkuat ketahanan pangan, energi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta pertahanan semesta,” ujar dia.
Sasaran fiskal pada 2026 dirancang. Kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi jadi target utama. Strategi menengah, pemerintah fokus terhadap delapan strategi utama, antara lain, ketahanan pangan, ketahanan energi, Makan Bergizi Gratis, program pendidikan, program kesehatan, pembangunan desa melalui koperasi dan UMKM, dan pertahanan semesta, serta akselerasi investasi dan perdagangan global.
Rasa optimisme pemerintah terus dijaga. Dengan asumsi berbagai target ini dilaksanakan tanpa cela, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diproyeksikan pada kisaran 5,2% hingga 5,8%. Rentang ini akan menjadi baseline baru untuk menuju target utama Presiden Prabowo Subianto: pertumbuhan ekonomi sebesar 8% di tahun 2029.
Selain menetapkan target pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani menyatakan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun pada 2026 diprediksi berada pada kisara 6,6% hingga 7,2%. Berikutnya dalam KEM-PPKF pemerintah menetapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada 2026 akan berada pada kisaran 16.500 hingga 16.900 per dolar AS.
Sementara, inflasi ditetapkan pada kisaran 1,5% hingga 3,5%. “Dengan terus menjaga stabilitas harga baik dari sisi supply dan demand,” kata dia.
Baca Juga
Tensi gejolak politik dan perlemahan ekonomi global yang memengaruhi harga minyak mentah dan berbagai sumber daya alam Indonesia menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan harga dan lifting minyak mentah. Pada 2026, pemerintah menyebut harga minyak mentah Indonesia akan berada pada kisaran US$ 60 per barel, hingga US$ 80 dolar per barel.
“Lifting minyak di 600.000 hingga 605.000 barel per hari dan lifting gas pada 953.000 hingga (total) 1.017.000 barel setara minyak per hari,” papar dia.
Meski demikian, badai gejolak global akan jadi tantangan yang menyelimuti. Dalam dokumen KEM-PPKF, terdapat lima tantangan fiskal yang dikelompokkan pemerintah. Pertama, risiko ekonomi makro. Kedua, risiko kewajiban kontinjensi. Ketiga, risiko pelaksanaan atas program dan kebijakan pemerintah. Keempat, risiko neraca konsolidasi sektor publik. Kelima, risiko fiskal daerah.
Risiko ekonomi makro yang dimaksud pemerintah yaitu perkembangan global yang masih dalam ketidakpastian, yang diprediksi akan memengaruhi kinerja perekonomian domestik. Penerimaan, belanja, dan pembiayaan dipastikan akan terdampak.
Tantangan di Penerimaan Negara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menyebut harga komoditas yang masih labil menjadi tantangan utama penerimaan negara. Untuk itu, penetapan dalam menghitung proyeksi harga komoditas ini dibuat konservatif. Itu terlihat dari penetapan harga minyak mentah Indonesia dan lifting terhadap gas dan minyak mentah.
“Untuk ICP (Indonesia Crude Price) kita sangat konservatif karena memang kita masih terus memantau,” jelas Febrio, Selasa (20/5/2025).
Sebagai langkah mitigasi, Pemerintah perlu memperkuat diversifikasi basis penerimaan dengan mendorong sektor-sektor ekonomi baru dan memperluas basis pajak. Pemerintah juga mendorong pemanfaatan ekonomi digital untuk memperluas sumber-sumber penerimaan baru.

Gejolak ekonomi global juga berdampak terhadap target pembiayaan melalui utang dan pengelolaan portofolio pemerintah. Risiko portofolio utang pemerintah yang senantiasa diawasi pergerakannya secara umum meliputi risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, serta risiko pembiayaan kembali (refinancing). Risiko lain yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan APBN adalah risiko kekurangan pembiayaan (shortage).
Nilai tukar yang tidak stabil dan risiko refinancing juga menjadi perhatian pemerintah ke depan. Tetapi, risiko ketidakpastian pasar keuangan menjadi fokus tersendiri. Sebab, kondisi tersebut akan berdampak terhadap likuiditas pasar.
Dari sisi program prioritas, pemerintah memetakan tantangan terhadap kebijakan ketahanan energi, pembiayaan program perumahan, dan program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Harga energi global akan menjadi masalah yang perlu diantisipasi karena akan meningkatkan beban subsidi BBM, LPG 3 kg, dan listrik. Sementara, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) menghadapi masalah kompensasi terhadap pembangkit energi terbarukan. Selain itu, terdapat masalah terhadap insentif biodiesel yang ditetapkan pemerintah.
Pembiayaan perumahan menjadi masalah fiskal lain karena sangat tergantung dukungan APBN. Pemerintah mengaku membutuhkan skema pembiayaan alternatif yang bersumber dari non-APBN. Pembiayaan ini dapat bersumber dari corporate social responsibility (CSR) atau pelibatan pihak swasta.
Baca Juga
Pemerintah Ungkap 8 Strategi Perkuat Kemandirian Ekonomi 2026, Cek
Begitupun dengan program pengembangan Kopdes Merah Putih, ikut menjadi sorotan. Pemerintah menyebut program ini perlu disokong oleh mekanisme pendanaan campuran, dari APBN, APBD, dan APBDes, serta sumber lainnya. Tak hanya itu, tata kelola yang ketat dan SDM yang mumpuni diperlukan untuk memonitoring program berjalan.
Pemerintah menyadari, akibat kebijakan belanja mengikat (mandatory spending) ruang gerak fiskal 2026 akan terbatas. Tekanan terhadap nilai tukar dan harga komoditas, serta suku bunga, juga volatilitas ICP akan berdampak pada pengeluaran APBN 2026.
Masalah fiskal lain yang akan dihadapi pemerintah yaitu risiko kontingensi. Terdapat beberapa program yang masih berlanjut di sektor infrastruktur, ketahanan cadangan pangan, dan program pemulihan ekonomi nasional. Program ini akan menimbulkan risiko keuangan kepada APBN apabila dana yang dialokasikan tidak cukup untuk menutup klaim yang timbul.
Sementara, program non-jaminan yang menjadi sorotan pemerintah utamanya yaitu pada risiko jaminan sosial di masa mendatang. Program sosial kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, serta program jaminan sosial ASN dan TNI/Polri perlu kecukupan dana dalam pembiayaannya. Selain itu, pemerintah dihadapkan terhadap pendanaan risiko bencana alam dan pengembangan energi terbarukan.
Risiko neraca konsolidasi sektor publik yang diantisipasi pemerintah terbagi menjadi dua, yaitu pada jangka pendek yang menyimpan potensi risiko ketidakcukupan cadangan devisa untuk mengantisipasi tekanan neraca pembayaran, dan jangka menengah-panjang dengan potensi risiko penurunan net worth neraca konsolidasi sektor publik.
Untuk risiko jangka pendek, ada potensi ketidakcukupan cadangan devisa untuk memenuhi valas dan operasi moneter. Ini dapat berdampak pada kekuatan nilai tukar rupiah.
Risiko neraca konsolidasi sektor publik untuk 2026 dinilai masih cukup terkendali. Namun, terdapat risiko global yang perlu diwaspadai akibat dinamika perekonomian global. Dari sisi aspek liabilitas, perlu pengendalian utang yang prudent oleh pemerintah pusat dan BUMN. Dua entitas harus menerapkan manajemen portofolio utang yang lebih aktif seperti debt switch, buyback, reprofiling, private placement dengan memperhatikan indikator ekonomi yang cukup dinamis.
Sementara untuk meningkatkan cadangan devisa pada level yang aman, diperlukan strategi yang terintegrasi baik dari sisi kebijakan moneter maupun fiskal. Selain itu, diperlukan peningkatan kerja sama internasional melalui penggunaan Local Currency Settlement (LCS) dan penguatan digitalisasi ekonomi melalui e-commerce global.
Terakhir, dari sisi risiko fiskal daerah, pemerintah menyoroti berbagai risiko fiskal yang berdampak kepada fiskal pemerintah pusat (APBN). Risiko implementasi belanja daerah yang belum sepenuhnya efisien muncul karena serapan belanja daerah yang cenderung lambat di awal tahun dan melonjak di akhir tahun dan kualitas belanja.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk memitigasi risiko implementasi belanja daerah yang belum sepenuhnya efisien. Strategi tersebut antara lain, harmonisasi kebijakan fiskal antara pusat dan daerah dilakukan sesuai dengan prioritas pemerintah; penyaluran transfer berbasis kinerja diterapkan dengan menekankan kepatuhan terhadap prinsip pengelolaan dan pelaporan dana; serta pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana transfer difokuskan pada output dan outcome untuk memastikan efektivitasnya.
Fokus lain yang menjadi perhatian yaitu risiko pinjaman daerah akibat pengelolaan likuiditas dan solvabilitas kas daerah yang tidak optimal. Mekanisme pemotongan TKD untuk melunasi pinjaman daerah yang berasal dari PT SMI mungkin tidak mencukupi untuk penyelesaian tunggakan sehingga perlu ada tambahan dari dana jaminan penugasan.
Strategi mitigasi risiko kontingensi pembiayaan utang daerah mencakup penguatan penilaian untuk persetujuan utang secara berkala, serta pemantauan dan evaluasi alokasi anggaran pemerintah daerah untuk pembayaran pokok dan bunga.
Baca Juga
Ekonom Universitas Andalas Sumatera Barat Syafruddin Karimi menjelaskan stabilitas ekonomi saja tidak akan cukup untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026.
Menanggapi dokumen KEM-PPKF, risiko eksternal seperti ketegangan geopolitik dan pelemahan ekonomi global disebut secara umum dalam dokumen, tetapi tidak disertai respons kebijakan yang konkret. Pemerintah perlu menyusun skenario makro dan bauran kebijakan fiskal sebagai antisipasi.
“Ketidakpastian global tidak bisa dilawan dengan retorika adaptif; negara membutuhkan kerangka respons yang jelas, terukur, dan tangguh,” ujar Syafruddin.
Syafruddin menjelaskan Indonesia tidak bisa terus-menerus bertumpu pada pertumbuhan yang bersifat linier. Transformasi ekonomi membutuhkan langkah-langkah berani, dari pembenahan sistem ketenagakerjaan hingga perluasan basis industri modern di luar Jawa.
Pemerintah harus mulai mengubah paradigma: dari menstabilkan ekonomi ke arah transformasi. “Karena dalam dunia yang berubah cepat, stabilitas saja tidak cukup—kita butuh lompatan, bukan langkah kecil,” ucap dia.

