Komisi II DPR RI Evaluasi Kemandirian Fiskal Daerah dan Kinerja BUMD
JAKARTA, Investortrust.id -- Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan gubernur dari sejumlah provinsi di Indonesia, Senin (28/4/2025). Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyampaikan bahwa rapat ini merupakan hari pertama dari rangkaian tiga hari evaluasi mendalam terhadap sejumlah isu strategis terkait pemerintahan daerah.
Rifqinizamy mengatakan salah satu isu yang dibahas yakni terkait pentingnya mengecek posisi dana transfer dari pusat ke daerah dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing provinsi.
"Kemandirian fiskal daerah kita di Indonesia itu masih sangat rendah. Rata-rata daerah kita itu masih sangat tergantung oleh dana APBN. 70% dari daerah kita itu sangat tergantung dari dana APBN," kata Rifqinizamy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Menurutnya bagi Komisi II terdapat dua fokus utama terkait isu ini. Pertama, menjalankan fungsi pengawasan penggunaan dana APBN di daerah, dan kedua, menilai upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD mereka. Ia juga mengingatkan pentingnya memperkuat kemandirian fiskal sebelum membentuk daerah otonomi baru.
"Ibarat rumah tangga, kita ingin nambah anak, tapi anak yang ada saja belum mampu dibiayai dengan layak," ujarnya.
Selain itu, rapat hari ini juga membahas evaluasi kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Komisi II DPR RI mendorong BUMD menjadi kekuatan ekonomi baru di daerah, bukan justru menjadi beban APBD karena diisi oleh kepentingan politik.
"Kita tidak ingin BUMD itu justru menjadi bagian dari penggunaan dana APBD yang dihajatkan untuk para tim sukses gubernur bupati wali kota," ucapnya.
Kemudian agenda ketiga yang menjadi perhatian hari ini adalah penyelesaian status tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Rifqinizamy menekankan bahwa tahun 2025 adalah batas akhir penyelesaian masalah honorer nasional. Namun, ia mengingatkan bahwa pengangkatan P3K membawa konsekuensi terhadap beban belanja pegawai daerah.
"Sementara ada undang-undang tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang mengharuskan maksimal prosentase 30% dari APBD untuk belanja pegawai. Lebih dari itu ada sanksi yang diberikan oleh pemerintah," tuturnya. (C-14)

