Anggota DEN Paparkan Strategi Indonesia dalam Negosiasi Tarif Resiprokal AS
JAKARTA, investortrust.id - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri membeberkan strategi yang dilakukan tim negosiator Indonesia saat menjalani misi diplomatik dagang di Amerika Serikat (AS). Dalam negosiasi tarif resiprokal itu, penawaran yang disampaikan Indonesia kepada AS cukup tinggi karena sebuah alasan.
“Strategi di dalam bargaining game Anda, yaitu harus high call. Anda akan minta kalau bisa lawan Anda enggak dapat apa-apa,” kata Chatib saat memberikan kuliah terbuka di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (14/5/2025).
Baca Juga
Dalam posisi tawar tersebut, Chatib menjelaskan, tim negosiator harus mempersiapkan langkah strategis. Ketika tawaran dibuat ke AS, tim negosiator mempersiapkan fallback position-nya.
Chatib menggambarkan, ketika sebuah barang dihargai 1.000, si penawar bisa membuat penawaran serendah-rendahnya, misalnya di angka 300. Ketika penjual menolak dan mulai menurunkan harganya menjadi 600, pembeli bisa menaikkan tawaran ke 400. Angka 500 kemudian menjadi angka kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Meski menggambarkan proses tawar menawar dalam negosiasi berjalan semacam itu, Chatib mengingatkan adanya rule of origin komoditas. Rule of origin mengacu kepada ketentuan asal barang atau dengan kata lain kebangsaan barang tersebut.
“Itu bisa berdampak terhadap partnership di ASEAN,” jelas dia.
Dalam proses negosiasi yang berlangsung, Chatib mengonfirmasi tidak membahas secara detail daftar yang diajukan United State Trade Representative (USTR). Bahkan isu penggunaan QRIS di Indonesia tidak menjadi pembahasan secara resmi.
“Jadi pembahasan itu setahu saya tidak dibahas secara spesifik,” kata dia.
Dalam kesempatan ini, Chatib mengatakan, relokasi pabrik produk China ke Indonesia masih terbuka lebar, meski AS dan China sepakat gencatan perang tarif. Berkaca dari pengalamannya saat menjabat menteri investasi/kepala BKPM, Chatib menyebut perlunya tawaran kepada perusahaan asing yang memiliki basis produksi di Indonesia.
Sebagai contoh, mengenai pemindahan pabrik Toyota di Thailand ke Indonesia. Tawaran dilakukan saat Thailand mengalami banjir bandang sehingga Toyota menghadapi masalah produksi. Tawaran yang disampaikan Chatib saat itu, yakni mendiversifikasi risiko disambut baik oleh Toyota dengan membangun pabri di Karawang senilai US$ 3,7 miliar.
“Pelajarannya yaitu don't put all your eggs in one basket. Itu sebabnya alasan Toyota untuk membuat production base di Karawang, sekitar US$ 3,7 miliar,” kata dia.
Chatib optimistis proses relokasi pabrik dari China akan tetap terjadi. Hal ini karena masih dibutuhkannya stok yang besar karena adanya ancaman disrupsi, pandemi, dan tensi geopolitik.
Baca Juga
Imbal Hasil US Treasury Naik di Tengah “Gencatan Perang Tarif” AS-China, Investor Masih Hati-hati
Chatib mengakui Vietnam mungkin menjadi pilihan relokasi. Namun, surplus perdagangan Vietnam dengan AS yang mencapai US$ 129 miliar akan menjadi persoalan. Dibandingkan dengan neraca perdagangan Vietnam-AS, Chatib optimistis, relokasi pabrik ke Indonesia masih lebih realistis.
“Indonesia neraca perdagangannya dengan AS itu US$ 19 miliar. Saya katakan relatively easy to be resolved sebetulnya,” ujar dia.
Meski demikian, Chatib mendorong pemerintah memberikan kemudahan bagi investor. Salah satunya melalui deregulasi.
.
“Kalau enggak, (investor) enggak akan pindah,” tegasnya.

