ICMI Minta Indonesia Lebih Tegas Hadapi Tarif Trump
JAKARTA, investortrust.id - Wakil Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat, Didin S. Damanhuri, menilai Indonesia perlu mengambil langkah lebih tegas dalam menghadapi kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat (AS).
Menurut Didin, kebijakan tarif yang diterapkan Trump kali ini bukanlah hal baru. Kebijakan serupa juga dilakukan pada periode 2016-2021, dengan tujuan melindungi industri dalam negeri AS.
"Amerika justru negara yang paling diuntungkan dari globalisasi, baik dari sisi GDP maupun indeks inovasinya," katanya dalam 'Webinar Nasional: Strategi Indonesia Menghadapi Tarif Trump', Sabtu (26/4/2025).
Guru Besar IPB itu menjelaskan bahwa narasi AS sebagai korban globalisasi justru menjadi penyederhanaan politik untuk mendukung agenda domestik. Sementara itu, banyak negara lain seperti China, Kanada, dan Meksiko merespons langkah Amerika dengan tindakan tegas berupa retaliasi tarif.
"China bahkan membalas tarif AS hingga lebih dari 180 persen, memaksa Trump membuka ruang negosiasi," ujarnya.
Baca Juga
Ketum ALFI Sebut Sektor Logistik Terdampak oleh Perang Tarif
Di sisi lain, Indonesia memilih langsung bernegosiasi tanpa mengambil langkah retaliasi. Sayangnya, upaya ini justru berujung pada peningkatan tarif terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 47%. Ditambah, AS ikut menekan Indonesia agar membuka akses terhadap sistem pembayaran digital QRIS.
Didin memperingatkan bahwa tekanan terhadap QRIS adalah bentuk ancaman terhadap kedaulatan finansial dan digital Indonesia. "QRIS adalah wujud kedaulatan kita. Kalau kita membuka begitu saja aksesnya kepada Amerika, itu pelanggaran kedaulatan yang tidak boleh dibiarkan," tegasnya.
Didin menilai, jika negosiasi yang sedang berlangsung gagal, maka Indonesia harus berani mengambil langkah retaliasi. Selain itu, ia juga mendorong strategi diversifikasi ekspor.
Ekonom senior itu menilai perang dagang antara AS dan China membuka peluang baru yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengisi pasar yang ditinggalkan kedua negara besar tersebut.
"Jadi, Trump 2.0 ini adalah kesempatan (melihat peluang baru) yang tidak boleh kita lewatkan," ujarnya. (C-13)

