Lee Jae-myung Menang Pemilu Korsel, Tolak Warisan Kekuasaan Darurat
SEOUL, investortrust.id - Lee Jae-myung, kandidat dari Partai Demokrat Korea Selatan, resmi terpilih sebagai presiden dalam pemilu kilat yang digelar hari Selasa (3/6/2025), tepat enam bulan setelah ia menentang pemberlakuan darurat militer yang memicu lengsernya Presiden Yoon Suk Yeol.
Baca Juga
Pengadilan Sahkan Pemakzulan, Presiden Korea Selatan Yoon Resmi Dicopot
Hasil ini menjadi babak baru bagi ekonomi terbesar keempat di Asia, sekaligus sinyal penolakan publik terhadap upaya pemerintahan sebelumnya mengkonsolidasikan kekuasaan secara otoriter.
Dengan 99% suara telah dihitung, Lee unggul dengan perolehan 49,3% suara, meninggalkan kandidat dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP), Kim Moon-soo, yang meraih 41,3%, berdasarkan data Komisi Pemilihan Nasional, dikutip dari Reuters. Tingkat partisipasi pemilih melonjak hingga hampir 80%, tertinggi sejak 1997 — mencerminkan atmosfer politik yang memanas dan keinginan rakyat untuk perubahan.
“Ini adalah hari penghakiman atas kediktatoran sipil, dan rakyat telah berbicara,” kata Lee di hadapan ribuan pendukung yang berkumpul di depan gedung parlemen setelah penghitungan suara awal menunjukkan keunggulannya.
Mandat dari Krisis
Kemenangan Lee hadir di tengah krisis konstitusional yang mengguncang Korsel sejak Desember lalu, ketika Presiden Yoon — mantan jaksa yang terpilih tipis pada 2022 — memberlakukan darurat militer yang kontroversial. Tindakan itu memicu rangkaian pemakzulan, aksi protes massal, hingga pengunduran diri sejumlah pejabat tinggi. Parlemen yang dikuasai oposisi berhasil melengserkan Yoon, dan Mahkamah Konstitusi memperkuat keputusan tersebut pada April.
Baca Juga
Gawat, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Tetapkan Darurat Militer
Dalam kampanyenya, Lee menyoroti kegagalan PPP untuk menjauhkan diri dari kebijakan represif Yoon. Ia berjanji akan memulihkan demokrasi, memperkuat ekonomi rakyat, dan membangun kembali persatuan nasional.
“Dengan kekuatan bersama rakyat, kita bisa mengatasi masa sulit ini,” ujar Lee. Ia juga menyampaikan komitmen untuk membuka dialog dengan Korea Utara, sambil mempertahankan posisi pertahanan yang kuat.
Reorientasi Politik dan Ekonomi
Kemenangan Lee menandai titik balik dalam arah kebijakan luar negeri dan ekonomi Korea Selatan, sekutu strategis Amerika Serikat. Meskipun ia diperkirakan akan melanjutkan kerja sama bilateral dengan Tokyo, pendekatan terhadap Beijing dan Pyongyang kemungkinan akan lebih akomodatif dibanding era Yoon.
Dari sisi ekonomi, Lee menawarkan reformasi pro-rakyat — fokus pada bantuan bagi kelas menengah dan bawah, serta investasi dalam inovasi dan teknologi. Sebaliknya, Kim mengusung agenda deregulasi dan insentif bagi dunia usaha.
Park Chan-dae, pemimpin sementara Partai Demokrat, menyebut hasil pemilu sebagai penolakan tegas atas “rezim kudeta.” “Rakyat menginginkan perbaikan nyata dalam kehidupan mereka, bukan politik kekuasaan,” ujarnya kepada KBS.
Ketegangan Sosial Belum Reda
Meski menang, tantangan bagi Lee sangat besar. Krisis politik pasca-darurat militer memperdalam polarisasi sosial. Ketimpangan ekonomi, ketidakpastian global akibat proteksionisme AS, serta hubungan lintas generasi dan gender menjadi ranjau sosial-politik yang harus segera dihadapi.
Pemilu kali ini juga mencatat tidak adanya kandidat perempuan untuk pertama kalinya dalam 18 tahun — mencerminkan absennya isu kesetaraan gender dari agenda utama, kendati terdapat kesenjangan pandangan politik antara laki-laki dan perempuan muda.
“Saya kecewa karena isu perempuan dan minoritas nyaris tak dibahas,” kata Kwon Seo-hyun, 18 tahun, mahasiswa baru yang aktif dalam aksi protes anti-Yoon.
Sertifikasi hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan dijadwalkan pada Rabu pagi. Upacara pelantikan Lee Jae-myung akan berlangsung hanya beberapa jam setelahnya. Washington, melalui juru bicara Departemen Luar Negeri Tammy Bruce, menyatakan masih menunggu hasil akhir untuk memberikan pernyataan resmi.
Kemenangan ini bukan hanya soal Lee atau partainya, melainkan refleksi dari tekad rakyat Korea Selatan untuk menentukan kembali arah masa depan mereka — dengan demokrasi, bukan dekret militer, sebagai fondasinya.

