Revisi UU Pemilu Cegah Pemilu yang Otoriter
JAKARTA, Investortrust.id -- Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai UU Nomor 7 Tahun 2017 mendesak untuk direvisi. Titi mengatakan Undang-Undang Pemilu yang berkualitas bisa mencegah pemilu yang otoriter.
"Kalau kita ingin mencegah pemilu otoriter melalui RUU Pemilu yang sedang akan dibahas, jangan terlambat membahas RUU Pemilu," kata Titi di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Titi menilai, selain mengurangi kualitas proses dan substansi, keterlambatan pembahasan RUU Pemilu juga rentan terhadap yudisialisasi politik. Menurutnya proses pembahasan revisi undang-undang tergesa-gesa, akan mempengaruhi partisipasi masyarakat dan kedalaman dalam membahas perubahan undang-undang.
"RUU Pemilu batal direvisi pada tahun 2021, salah satu implikasinya masyarakat mencari jalan ke pengadilan. Karena tidak diwadahi oleh pembentuk undang-undang atau ketika undang-undang pemilunya tidak sempat mendeliberasi proposal perbaikan, orang kemudian mengujinya ke MK, itu yang kami lakukan," ujarnya.
Titi juga menilai pemilu yang otoriter bisa dicegah dengam memilih sistem pemilu yang tepat. Menurutnya tarik menarik antara kepentingan pemilih dengan kelembagaan partai harus diakhiri.
"Pemilih lebih sering memilih wakilnya sendiri, tapi realitasnya partai ingin menegakkan disiplin organisasi. Kader yang sudah 'berdarah-darah' untuk partai, ingin dipromosikan dengan baik sehingga lebih punya peluang untuk terpilih," ucapnya.
Selain itu, memilih model keserentakan pemilu juga dapat mencegah pemilu yang otoriter. Menurut Titi, Pemilu yang terlalu berat beban keserentakannya, dapat meningkatkan suara tidak sah yang sangat tinggi.
"Juga menyulitkan kerja penyelenggara yang kemudian menimbulkan partisipasi yang menurun ketika penyelenggaraan Pilkada," ujarnya.
Kemudian, Titi menambahkan, memilih penyelenggara yang tepat juga dapat mengantisipasi munculnya pemilu yang otoriter. Sebab menurutnya penyelenggara menjadi unsur penting dalam membangun integritas pemilu.
"Setengah dari integritas pemilu adalah integritas penyelenggara. Salah pilih penyelenggara bisa berdampak lahirnya otokratik elektoral manajemen. Mandiri secara formal, mandiri namanya, tapi partisan secara de facto," tegasnya. (C-14)

