Persidangan Kematian Maradona Diulang Karena Mistrial
BUONES AIRES, Investortrust.id - Pengadilan Argentina pada Kamis (29/5/2025) memutuskan untuk mengulang persidangan terhadap tujuh tenaga medis yang didakwa lalai dalam kematian legenda sepak bola Diego Maradona. Keputusan ini diambil setelah pengadilan menyatakan adanya kesalahan prosedur atau mistrial, menyusul pengunduran diri salah satu hakim akibat skandal keterlibatannya dalam sebuah dokumenter yang mengangkat kasus tersebut.
Hakim Julieta Makintach, salah satu dari tiga hakim yang memimpin persidangan, mengundurkan diri setelah menuai kritik luas. Ia diketahui terlibat dalam produksi serial dokumenter berjudul Divine Justice, yang membahas secara dramatik proses hukum dalam kasus kematian Maradona. Serial itu menampilkan Makintach dalam adegan-adegan yang dianggap tidak pantas dan berpotensi melanggar etika kehakiman.
Diberitakan nrp.org, kamis (29/5/2025), dalam permintaan pencopotan Makintach, jaksa memperlihatkan trailer dokumenter berdurasi satu setengah menit yang memperlihatkan cuplikan gol-gol legendaris Maradona diselingi adegan Makintach berjalan di koridor pengadilan dengan gaya dramatis. Trailer ini menuai kecaman karena menampilkan unsur hiburan dalam konteks yang semestinya serius dan tertutup.
Jaksa menuduh Makintach melanggar kode etik karena mengizinkan kru kamera masuk ke ruang sidang tertutup. Tuduhan tersebut berkembang menjadi skandal nasional dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai netralitas serta profesionalisme hakim dalam menangani kasus sensitif ini. Makintach akhirnya mengundurkan diri, dengan alasan tidak memiliki pilihan lain.
Baca Juga
Kisah Diego Maradona Ditolak Juventus, Inter Milan, dan Sampdoria Sebelum Gabung Napoli
Pada Kamis, pengadilan resmi menyatakan bahwa seluruh proses persidangan sejak dimulai pada 11 Maret dinyatakan batal. Hakim Maximiliano Savarino menyebut bahwa tindakan Makintach telah merugikan kedua belah pihak dalam persidangan, baik penggugat maupun pembela. “Ini adalah keputusan yang tidak menyenangkan,” ujarnya saat membacakan putusan.
Dua putri Maradona, Gianinna dan Dalma, tampak menangis di ruang sidang setelah mendengar putusan tersebut. Keputusan ini juga menimbulkan ketidakpastian terhadap kelanjutan proses hukum, yang awalnya direncanakan berlangsung hingga Juli. Pengadilan menyatakan bahwa pengadilan yang lebih tinggi akan menunjuk tiga hakim baru dalam waktu yang wajar.
Kasus ini menuduh tim medis Maradona lalai dalam memberikan perawatan yang layak pada minggu-minggu terakhir menjelang kematian sang legenda pada 25 November 2020. Maradona, yang saat itu berusia 60 tahun, meninggal karena serangan jantung saat masa pemulihan pascaoperasi penggumpalan darah di otak di rumah sewaan di luar Buenos Aires.
Persidangan ini tidak hanya menjadi ajang debat medis, tetapi juga penuh muatan emosional dan perhatian media. Kesaksian para saksi dua kali seminggu menjadi bahan utama pemberitaan tabloid, mencerminkan kehidupan Maradona yang memang selalu disorot karena gaya hidup eksentrik dan masa lalu yang penuh dengan penyalahgunaan zat.
Para terdakwa, termasuk dokter pribadi Leopoldo Luque, psikolog, psikiater, koordinator medis, dan beberapa perawat, menghadapi tuduhan pembunuhan karena kelalaian (culpable homicide). Mereka menghadapi ancaman hukuman hingga 25 tahun penjara. Para terdakwa membantah semua tuduhan dan menyatakan bahwa Maradona adalah pasien yang sulit, yang kerap menolak perawatan medis.
Maradona dikenal luas sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa dan pahlawan nasional Argentina setelah membawa negaranya meraih kemenangan di Piala Dunia 1986. Kehidupan pribadinya yang penuh warna, dari kemiskinan hingga ketenaran, menjadikannya tokoh yang tidak hanya dihormati di lapangan tetapi juga dikenang sebagai simbol rakyat.

