Begini Upaya OJK Tekan NPL di BPR Agar Tak Melambung
JAKARTA, investortrust.id - Hingga saat ini, rasio kredit bermasalah yang tercermin dari non performing loan (NPL) di industri bank perekonomian rakyat (BPR) masih berada di level yang sangat tinggi, bahkan trennya terus meningkat dari waktu ke waktu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya melakukan sejumlah hal untuk menekan kredit macet di industri rural bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, efek jangka panjang dari pandemi Covid-19 masih membayangi beberapa sektor, termasuk BPR, yang menyebabkan pemulihan belum sepenuhnya terjadi.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya tren NPL di industri BPR. “Scaring effect dari Covid itu tampaknya masih belum recover 100%, untuk sektor-sektor tertentu belum bisa recover,” ujar Dian, menjawab pertanyaan Investortrust, dalam undangan terbatas untuk media yang digelar OJK, di Jakarta, Selasa (3/6/2025) malam.
Jika melirik data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK, tren kenaikan NPL di industri BPR memang terus berlangsung dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2021 misalnya NPL BPR berada di level 6,72%, lalu meningkat ke 7,89% di 2022, kemudian di 2023 menjadi 9,87%.
Baca Juga
OJK Dorong Konsolidasi dan Transformasi BPR Jadi Community Bank
Pada Maret 2025 NPL BPR berada di level 11,91%, sementara di periode yang sama tahun 2024 berada di angka 10,70%. Padahal, OJK telah mengatur batas maksimum NPL bagi industri perbankan sebesar 5%.
Sebagai upaya untuk menekan rasio kredit macet di BPR, OJK telah mengambil beberapa langkah kebijakan agar tekanan terhadap kualitas kredit tidak semakin besar.
“Misalnya soal AYDA (aset yang diambil alih) itu sekarang tidak harus diselesaikan dalam satu tahun, diatur lebih panjang. Contohnya, karena memang pasar properti misalnya, masih agak berat, kemudian kita kasih leniency (kelonggaran) di situ, dan lain sebagainya,” kata Dian.
Baca Juga
OJK Rilis 3 Peraturan Teranyar untuk Perkuat BPR, Ini Rinciannya
Kebijakan itu diambil guna memberikan ruang adaptasi yang lebih luas bagi sektor-sektor yang belum pulih secara penuh. Selain itu, pengawasan terhadap BPR juga diperketat melalui penguatan fungsi di seluruh kantor OJK daerah.
“Ada pengawasan teman-teman kita di seluruh daerah, itu akan lebih intensif untuk mengawasi BPR-BPR ini untuk kinerjanya semakin baik,” ucap Dian.
Selain pemberian kelonggaran, lanjut Dian, OJK juga terus mendorong BPR tetap mendorong penerapan prinsip kehati-hatian bagi BPR dalam pemberian kredit. Ia berharap agar praktik pemberian kredit tidak mengalami reklasifikasi yang tak semestinya dan tetap mengacu pada prinsip tata kelola yang baik.
“Kita mengharapkan bahwa mereka (BPR) pemberian kreditnya itu tidak reklas lah atau tidak berhati-hati,” kata Dian.

