IUP Batu Bara untuk Hasilkan Energi Bersih Tetap Perlu Diberikan
JAKARTA, investortrust.id – Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara perlu diberikan kepada investor atau pelaku usaha yang memiliki dana besar dan teknologi mutakhir untuk menghasilkan energi bersih. Indonesia masih memiliki cadangan batu bara hingga 60 tahun akan datang. Potensi ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat dan menghasilkan energi bersih.
Demikian mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik "Batu Bara dan Kedaulatan Energi Nasional: Menjembatani Realitas Ekonomi dan Komitmen Iklim” yang diselenggarakan Investortrust di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
FGD dibuka oleh Surya Herjuna, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara selaku keynote speaker mewakili Dirjen Minerba Tri Winarno. Adapun sebagai panelis adalah Nurul Ichwan (Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM), Anil Kumar Monga (Chaiman Emmsons Group), Gita Mahyarani (Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia/APBI), Singgih Widagdo (Ketua Indonesian Mining & Energy Forum/IMEF), FH Kristiono (Ketua Bidang Kajian Batu Bara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia/Perhapi), serta Hanafi S Guciano (Direktur Center for Sustainability Universitas Islam Internasional Indonesia/UIII). FGD dipandu oleh CEO Investortrust, Primus Dorimulu.
Berikut ini adalah benang merah dan poin penting yang dikemukakan para pembicara. Mereka sependapat bahwa batu bara masih diperlukan Indonesia dan pemerintah masih memberi izin penambangan batu bara, khususnya penambangan yang disertai hilirisasi atau pengolahan batu bara untuk menghasilkan nilai tambah ramah lingkungan.
Cadangan batu bara Indonesia masih besar, sekitar 31,71 miliar ton dengan total sumber daya batu bara mencapai 97,3 miliar ton. Cadangan ini tersebar di beberapa provinsi, antara lain Kalimantan Timur memiliki cadangan terbesar sekitar 11,59 miliar ton (38% dari total nasional), diikuti oleh Sumatera Selatan dengan 8,67 miliar ton (29%), Kalimantan Selatan 3,91 miliar ton (13%), Kalimantan Tengah 2,56 miliar ton (8%), dan Jambi 1,58 miliar ton (5%). Dengan rata-rata produksi 600 juta ton per tahun, cadangan batu bara Indonesia akan habis 60 tahun akan datang.
Harga batu bara kini sedang turun, melewati titik biaya produksi. Ini terjadi karena terjadi penurunan permintaan batu bara oleh China dan India. Kedua negara ini mulai menaikkan produksi mereka. Harga batu bara dalam negeri China lebih murah dari harga impor. Cadangan batu bara China dan produksinya sangat besar, menempatkan negara ini sebagai produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia.
Cadangan terbukti sekitar 149,8 miliar ton per tahun 2016, menempatkan China di peringkat ke-4 dunia dengan sekitar 13,15% dari total cadangan global. Pada tahun 2023, China memproduksi 4,6 miliar ton batu bara, meningkat 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya dan pada tahun 2025 ditargetkan 4,8 miliar ton. Konsumsi batu bara China mencapai lebih dari 4 miliar ton pada tahun 2023. China juga merupakan importir batu bara terbesar di dunia, dengan impor mencapai 542 juta ton pada tahun 2023, meningkat 74,3% dari tahun sebelumnya.
Sedangkan cadangan batu bara Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 31,71 miliar ton, jauh lebih kecil dibandingkan China. Produksi batu bara Indonesia sekitar 600 juta ton per tahun, sekitar 13% dari produksi China. China memiliki peran dominan dalam industri batu bara global, baik dari sisi cadangan, produksi, maupun konsumsi.
Harga batu bara pada tahun 2022 atau masa awal pemulihan Covid-19 sempat melonjak dan menembus rekor tertinggi di atas USD 400 /ton. Pada 2023-2024 kemudian turun ke kisaran USD 120 -140 per ton. Pada akhir Februari, harga melemah ke levl USD 99 per ton dan akhir April sekitar USD 96 per ton. “Sekarang ini harga bisa mencapai USD 100 per ton saja sudah syukur banget,” kata Gita Mahyarani.
Kedaulatan Energi Nasional
Batu bara adalah komoditas pemberian Tuhan yang memampukan Indonesia mencapai kedaulatan energi. Ini tidak mudah. Karena sekitar 60%-70% produksi batu bara diekspor untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi dalam negeri, membuka lapangan pekerjaan, dan menopang APBN. Lagi pula pasar dalam negeri tidak mampu menyerap semua produksi batu bara.
Untuk kedaulatan energi, Indonesia perlu memanfaatkan dengan baik batu bara, khususnya untuk pembangkit listrik. Saat ini, dengan total kapasitas terpasang PLN sebesar 69.039,60 MW, kontribusi PLTU (yang umumnya berbahan bakar batu bara) adalah sekitar 57,1% dari total kapasitas terpasang PLN.
Agar menghasilkan energi bersih, minimal dengan emisi karbon yang rendah dan bisa terus ditekan rendah, diperlukan tekonologi tinggi untuk menghasilkan batu bara ramah lingkungan atau energi lainnya, yakni Dimethyl Ether (DME). DME diproduksi dari batu bara melalui proses gasifikasi. DME merupakan bahan bakar sintetis yang bisa menjadi alternatif pengganti LPG (liquefied petroleum gas) karena sifatnya yang serupa—mudah dicairkan, mudah terbakar, dan bersih saat digunakan. Proses produksi DME batu bara mencakup, antara lain gasifikasi batu bara . Batu bara dikonversi menjadi gas sintetis (syngas), yaitu campuran karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H₂).
Batu bara juga dimanfaatkan bersama energi lainnya atau mixed energy. Bauran energi yang didorong, antara lain, co-firing, yakni teknologi pencampuran batu bara dengan biomassa (misalnya: sekam padi, serbuk gergaji, pelet kayu, limbah pertanian, dan sampah organik) untuk digunakan bersama di PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Realitas Ekonomi
Sementara itu, masih banyak penduduk Indonesia hidup miskin. Penduduk di bawah gratis kemiskinan 8,57% atau 24,06 juta. Sedang penduduk rentan miskin 24,42% atau 68,51 juta. Jumlah total penduduk miskin absolut dan rentan miskin sebanyak 92,57 juta atau 32,5% dari total penduduk. Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan sebanyak 115.285.259 atau 41,3% dari total penduduk. Mereka tidak mampu membayar iuran Rp 42.000 per bulan.
Dalam APBN 2025, subsidi energi tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 203,41 triliun, meningkat 7,56% dibandingkan tahun sebelumnya. Subsidi BBM Rp 26,7 triliun dan subsidi listrik Rp 90,22 triliun, meningkat dari Rp73,24 triliun tahun sebelumnya. Lainnya adalah subsidi LPG. Pelanggan penerima subsidi listrik tercatat 42,08 juta.
Rakyat Indonesia masih membutuhkan energi terjangkau dan itu masih berasal dari fosil, termasuk batu bara. Sedang harga EBT masih mahal, dari sisi investasi dan teknologi.
Dalam kondisi dengan jumlah jumlah penduduk miskin besar, harga energi yang mahal akan menambah jumlah penduduk miskin. Ekonomi Indonesia sedang dibangun dan itu membutuhkan energi murah. Harga energi yang mahal akan membuat Indonesia terjebak middle income trap. Realitas ekonomi inilah yang harus diperhatikan.
Komitmen terhadap Iklim
Pengembangan energi ke depan memang bertalian dengan komitmen terhadap perbaikan iklim dan lingkungan. Indonesia sudah menandatangani Paris Agreement pada tanggal 22 April 2016, dan meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 pada 31 Oktober 2016. Sebagai bagian dari komitmennya terhadap perjanjian tersebut, Indonesia mengajukan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) pada 24 September 2015, yang kemudian menjadi Nationally Determined Contribution (NDC) pertama setelah ratifikasi.
Dengan demikian, komitmen Indonesia untuk mewujudkan net zero emission (NZE) tahun 2060 bukan lagi sebuah “option”, melainkan keharusan.
Mewujudkan energi bersih dengan mengembangkan energi bersih membutuhkan teknologi canggih dan itu perlu dana besar. Teknologi seperti Dimethyl Ether (DME), Co-Firing, Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan Ultra-Supercritical Boiler membutuhkan dana besar. Sebuah penelitian menyebutkan, untuk menghasilkan energi bersih, setiap tahun dibutuhkan investasi US$ 30 miliar!
Penting sekali perhatian terhadap pengolahan lahan pasca tambang agar kerusakan lingkungan teratasi dan masyarakat di sekitar tambang memperoleh penghidupan.
Antara Realitas Ekonomi Komitmen Iklim
Di lain sisi, dengan realitas penduduk Indonesia yang masih miskin, Indonesia tidak bisa cepat shifting ke EBT 100%. Pada tahun 2060 pun, batu bara masih ada. Tapi, batu bara yang sudah menghasilkan energi yang lebih bersih. Untuk itu, Indonesia harus segera mengadopsi teknologi tinggi untuk mengolah batu bara menjadi energi bersih.
Dalam konteks itu, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada para investor lokal dan asing yang memiliki dana dan teknologi untuk mengolah batu bara menjadi energi bersih. Perusahaan yang mampu membangun Dimethyl Ether (DME), Co-Firing, Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan Ultra-Supercritical Boiler.
Ke depan, investor yang dibutuhkan adalah investor yang tidak hanya menambang batu bara lalu diekspor, tapi investor yang mampu membangun industri integrated, dari upstream hingga downstream, dari penambangan hingga pengolahan menjadi energi bersih. Untuk mendukung hal itu, pemerintah perlu memberikan kawasan khusus, misalnya KEK untuk usaha batu bara hulu hingga hilir.
Pemerintah juga perlu membuat blueprint dan roadmap di bidang usaha batu bara agar setiap pelaku memiliki acuan atau panduan.
Berilah kemudahan kepada pelaku usaha, dalam dan luar negeri, yang memiliki dana dan teknologi untuk masuk pertambangan batu bara dengan komitmen membangun usaha terintegrasi, hulu hingga hilir, dari penambangan hingga mengolah batu bara menjadi energi bersih seperti DME.

