Pakar Ungkap Urgensi UU Pemilu dan Pilkada Perlu Segera Direvisi
JAKARTA, Investortrust.id -- Sekretaris Jenderal Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Azka Abdi Amrurobbi, menyoroti stagnasi pembahasan revisi regulasi pemilu yang dinilai krusial di tengah kondisi demokrasi yang kian kompleks. Azka mengkritik absennya tindak lanjut dari DPR terkait RUU Pemilu dan RUU Pilkada yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
"Isu yang muncul bukan soal substansi, tetapi soal siapa yang berwenang membahas. Ini menunjukkan ada upaya pengaburan isu dari publik," kata Azka dalam diskusi dengan tema "Urgensi Menyegerakan Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada", Selasa (20/5/2025).
KISP juga mencatat minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam isu revisi UU ini. Berdasarkan hasil pantauan KISP terhadap percakapan di media sosial menunjukkan 61% warganet bersikap negatif terhadap proses revisi, mengaitkannya dengan praktik serupa seperti pada revisi UU TNI yang dinilai tertutup.
Azka menambahkan, sejumlah masalah mendesak perlu dibahas dalam revisi kali ini, seperti politik uang, ketimpangan kampanye digital, seleksi penyelenggara pemilu, hingga desain ulang keserentakan pemilu.
Sementara itu pakar politik, Titin Purwaningsih, menilai penyelenggaraan pemilu dan pilkada di Indonesia masih sarat persoalan, baik dari sisi regulasi maupun pelaksanaannya.
"Pemilu selama ini cenderung hanya memenuhi aspek prosedural. Substansi kedaulatan rakyat belum tercapai sepenuhnya," tegasnya.
Titin juga menyoroti lemahnya netralitas ASN dan penyelenggara pemilu, serta masih dominannya politik uang dan politik dinasti dalam kontestasi lokal. Ia juga menekankan pentingnya profesionalitas dan integritas dalam proses seleksi penyelenggara pemilu agar tidak menjadi alat kekuasaan politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan lambannya pembahasan RUU Pemilu merupakan sinyal bagi masa depan demokrasi. Menurutnya, dengan pemilu serentak lima kotak yang kembali digelar pada 2024, pemerintah dan DPR mestinya sudah punya cukup bahan evaluasi.
"Dua kali pemilu serentak, suara tidak sah terus tinggi, partai tidak terlembaga dengan baik, dan publik makin jauh dari partai politik. Tapi pembahasannya belum juga dimulai, bahkan kemungkinan baru 2026," ujarnya.
Perludem mengusulkan agar pemilu dipisah menjadi dua: pemilu nasional, yakni pemilu presiden berbarengan dengan pemilu DPR dan DPD serta pemilu daerah, yakni pemilu kepala daerah dan DPRD. Perludem meyakini pemisahan tersebut bisa mengurangi beban pemilih dan penyelenggara, serta memberi ruang bagi kaderisasi dan pelembagaan partai secara berkelanjutan. (C-14)

