Arah Dana Asing Pasca-Perang Dagang AS-China Mereda, Bisakah Pasar Modal Menangkap Peluang?
JAKARTA, investortrust.id – Kesepakatan Amerika Serikat (AS) dan China menurukan tarif dagang yang sementara telah menjadi titik balik bagi bursa saham dunia, termasuk Bursa Efek Indonesia (BEI). Lalu, bagaimana dampak kebijakan ini terhadap aliran dana masuk ke pasar saham domestik?
Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mengatakan, sejatinya kesepakatan dagang ini menciptakan efek dua sisi. Pertama, positif untuk pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Berkurangnya risiko sistemik dari perang dagang membuat investor global kembali bersedia mengambil aset berisiko atau risk-on.
Hal itu diharap bisa mendukung arus masuk dana asing ke pasar obligasi dan saham Indonesia, terutama bila didukung arah suku bunga global yang lebih akomodatif.
Baca Juga
IHSG Terbang 2,15% hingga Asing Borong Saham Rp 2,83 Triliun, Deretan Ini Jadi Pemicunya
“Tetapi agak pesimis juga melihat perkembangan terakhir jumlah foreign net sell year to date yang tergolong massive hampir Rp 54 triliun. Bahkan arus jual asing konsisten di kala aset-aset US$ sempat di-dump belakangan ini, dan IHSG tidak mendapatkan kucuran dana beli asing yang substansial,” jelas Liza, menjawab Investortrust.id, baru-baru ini.
Bahkan, dia menyebut, IHSG tentu bisa memanfaatkan sentimen positif dari pasar regional, namun dikhawatirkan hanya bersifat jangka pendek. Kiwoom Research justru cemas, IHSG akan kalah sentimen lagi dengan pasar China dan AS.

Pasalnya, Goldman Sach langsung menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk kuartal keempat tahun 2025 menjadi 1%, dari yang sebelumnya diharapkan sebesar 0,5%. Hal ini sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan menjadi 35%.
Morgan Stanley juga menyebutkan bahwa dana lindung nilai (hedge funds), terutama yang berbasis di AS menambah porsi bullish pada saham China pekan lalu, dengan harapan kemajuan dalam pembicaraan perdagangan AS-China.
Baca Juga
MSCI China Index dan indeks saham unggulan China CSI 300, naik masing-masing 2,4% dan 1,9%, pada pekan lalu menjelang pembicaraan AS-China di Jenewa. Bahkan, hedge funds diperkirakan akan semakin menambah posisinya di instrumen saham China yang diperdagangkan di AS dan saham domestik kelas A, setelah melihat perkembangan terakhir yang menggembirakan. “Jadi, alih-alih mengharapkan foreign berbalik net buy, bisa saja kenyataannya malah terjadi reallocation ke dua pasar besar itu (AS & China),” tegas Liza.
Dia menginformasikan P/E ratio indeks China CSI 300 saat ini adalah 12.64x, tak jauh berbeda dengan IHSG yang 13.33x. Tak heran bila ini akan menjadi saingan terkuat IHSG dalam berebut capital inflow. “Kami tetap mencoba konservatif di sini. Berkaca dengan versi trade war tahun 2018-2019, saat jeda waktu 90 hari kala itu tidak membuahkan hasil yang konkret,” sambung Liza.
Bersikap Skeptis
Bukan hanya tim riset Kiwoom Sekuritas Indonesia yang masih skeptis, banyak analis dari institusi keuangan internasional juga belum berani terlalu optimistis di sesi awal gencatan tarif ini.
Sebut saja Macquarie yang bahkan menyebut kesepakatan dagang terbaru AS-China sebagai ‘langkah taktis yang disepakati bersama’, bukan perdamaian jangka panjang.
Meski tarif diturunkan dan pasar bereaksi positif, sebagian besar tarif Trump, termasuk tarif fentanyl 20% dari AS dan balasan 4% dari China, tetap berlaku.
Baca Juga
Bank Pulih! Saham BBRI, BBNI, BRIS, dan BBTN Ditutup di Atas Harga Penutupan Akhir 2024
Macquarie menegaskan, AS belum mengubah niatnya untuk membendung kebangkitan China secara ekonomi, politik, dan militer. Mereka juga meragukan keberlanjutan hubungan ini, menyebut kepercayaan terhadap AS sebagai mitra dagang yang kredibel belum pulih. Negara-negara tersebut kemungkinan akan terus mendiversifikasi risiko dari ketergantungan pada AS.
Di tempat lain, analis CITI juga menyebut kompromi saat ini belum tentu mendapat dukungan penuh dari basis politik Trump.
“Namun jangan khawatir, tidak semuanya gelap bagi Indonesia. Berhubung proyeksi ekonomi dua negara konsumen terbesar dunia itu dinaikkan, maka pasar Indonesia bisa kebagian ‘kuenya’ dari pasar komoditas. Secara karakteristik market kita adalah commodity-driven,” ujar Liza.
Dari sisi makroekonomi, cadangan devisa Indonesia per akhir April 2025 menurun menjadi US$ 152,5 miliar dari US$ 157,1 miliar pada Maret. Penurunan ini disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri dan intervensi stabilisasi pasar oleh Bank Indonesia.
Baca Juga
IHSG Terbang 2,15% hingga Asing Borong Saham Rp 2,83 Triliun, Deretan Ini Jadi Pemicunya
Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 tak mampu penuhi estimasi 5% dan melambat ke level 4,87% (yoy), yang merupakan level terendah sejak kuartal III-2021. Kontributor utama GDP kuartal pertama ini adalah konsumsi rumah tangga melemah ke 4,89% (yoy), investasi (PMTB) melambat tajam ke 2,12% (yoy), sementara belanja pemerintah kontraksi -1,38% (yoy).
Di lain sisi, ekspor tumbuh 6,78% tetapi Impor hanya naik 3,96%. “Curiga karena pelaku bisnis berlomba-lomba mengirim barang sebelum tarif resmi berlaku,” imbuh Liza.
Sentimen pelemahan domestik membayangi proyeksi (outlook) ekspansi korporasi dan penciptaan lapangan kerja. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sejak Jan-Apr 2025, terdata 24.000 orang terkena PHK.
Baca Juga
Hingga akhir Maret 2025, 35.000 pekerja mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), naik 2x lipat dibanding tahun lalu, dengan total klaim yang sudah dibayarkan mencapai Rp 161 miliar atau naik 48% (yoy).
Turut menambah rapor merah, risiko fiskal muncul dari tax ratio Indonesia kuartal I-2025 yang turun drastis ke 7,95%, dari 9,77% tahun sebelumnya. “Curiga akibat gangguan teknis sistem Coretax, yang menghambat proses pembayaran pajak selama kuartal pertama,” sambung Liza.
Penerimaan negara juga dia prediksi akan tambah berkurang, seiring dialihkannya deviden dari BUMN ke kantong Danantara, bukan Kementerian Keuangan seperti sebelumnya.

