Pemerintah Belum Berniat Revisi Standar Garis Kemiskinan Nasional
JAKARTA, investortrust.id - Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi mengatakan, pemerintah belum memiliki rencana untuk mengubah metode garis kemiskinan dalam waktu dekat terkait standar baru yang ditetapkan Bank Dunia.
“Dalam waktu dekat pembicaraan pengubahan metode itu tidak ada dan umumnya ketika metode itu diubah, itu mengikuti standar internasional di dalam perhitungan garis kemiskinan,” kata Dedek, saat dihubungi investortrust.id, Selasa (10/6/2025).
Dedek mengatakan, saat ini pendekatan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap standar garis kemiskinan ada dua, yaitu kebutuhan makanan dan kebutuhan non-makanan. Kebutuhan makanan diindikasikan dengan konsumsi sebesar 2.100 kalori per hari.
“Jadi kalau misalnya kita makan di bawah 2.100 kalori per hari maka secara otomatis kita dianggap negara sebagai orang miskin,” kata dia.
Sementara itu, kebutuhan non-makanan memiliki cakupan luas wilayah tempat tinggal per orang, akses terhadap pendidikan, dan akses terhadap kesehatan.
Garis kemiskinan makanan dan non-makanan ini akan dikonversi menjadi nominal mengikuti standar harga di Indonesia. Dari perhitungan itu lahirlah garis kemiskinan.
“Inilah kenapa data BPS itu menangkap profil kemiskinan itu dibandingkan dengan data Bank Dunia karena memang juga data Bank Dunia itu tujuannya bukan menangkap profil kemiskinan tapi untuk komparasi internasional,” jelas dia.
Baca Juga
Bank Dunia Naikkan Garis Kemiskinan Global, Orang Miskin RI Tambah Jadi 194 Juta Jiwa?
Bank Dunia merevisi garis kemiskinan global dengan mengadopsi besaran paritas daya beli atau purchasing power parities (PPP). Revisi saat ini, PPP didasarkan pada 2021, mengubah referensi tahun sebelumnya pada 2017. Dengan acuan baru, warga miskin di Indonesia bertambah 22% menjadi 194 juta jiwa dari 171 juta jiwa.
Garis kemiskinan ekstrem naik dari US$ 2,15 menjadi US$ 3 per hari, garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah naik dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,2. Sementara itu, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas— Indonesia terdapat di dalamnya— naik dari semula US$ 6,85 menjadi US$ 8,3. Dengan angka ini, kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar 68,25% dari total penduduk sebesar 285,1 juta jiwa pada 2024. Angka ini setara 194,58 juta jiwa.
Sebelumnya, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah untuk mengubah garis kemiskinannya.
“Pertama, kekhawatiran politisasi terhadap lonjakan angka kemiskinan,” kata Arief kepada investortrust.id, Selasa (10/6/2025).
Selain masalah politisasi, hambatan lain revisi garis kemiskinan Indonesia juga berhubungan dengan anggapan akan naiknya anggaran perlindungan sosial. Meski begitu, menurut Arief, dua hal tersebut dapat diatasi dengan edukasi publik yang baik.
“Dan perlu pemisahan antaran indikator statistik dan basis sasaran program sosial,” ujar dia.
Baca Juga
Angka Kemiskinan RI Melejit Gara-gara Bank Dunia, Ini Kata Ekonom

