ASEAN Bersatu Mampu Hadapi TACO
Oleh Tri Winarno,
mantan Ekonom Senior
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Bank Indonesia
INVESTORTRUST.ID - Tarif yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump – khususnya “tarif timbal balik” yang sangat tinggi – kabarnya akan diberlakukan kembali pada 8 Juli, untuk negara mana pun yang belum mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Hal itu membuat negara-negara di seluruh dunia berebut untuk merespons, beradaptasi, dan membatasi dampaknya.
Sepuluh anggota ASEAN – Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam – termasuk yang paling proaktif. Para pemimpinnya dengan cepat menyadari bahwa, setelah puluhan tahun mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang spektakuler, ASEAN merupakan kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan secara serius oleh pemerintahan Trump.
Bila pada tahun 2000, Jepang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, sekitar delapan kali lebih besar dari ASEAN; saat ini, hanya 1,1 kali lebih besar. Pada tahun 2030, ekonomi ASEAN akan melampauinya.
Baca Juga
Mentan Sebut Investasi Pertanian Rp 371 Triliun Bisa Hasilkan Untung Rp 9.000 Triliun
Pada tahun 2010-2020, ASEAN memberikan kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi global daripada yang diberikan Uni Eropa.
Rahasia Keberhasilan ASEAN
ASEAN berutang banyak untuk kemajuan itu pada perdagangan terbuka. Antara tahun 2003 dan 2023, perdagangannya dengan negara-negara lain di dunia melonjak, dari US$ 618 miliar menjadi US$ 2,8 triliun.
Namun, rahasia sebenarnya dari keberhasilan ASEAN adalah kepemimpinan yang kuat dan kompeten, yang dicontohkan, pada tahun-tahun awal berdirinya kelompok tersebut, oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, seorang pengacara lulusan Cambridge, dan Presiden Indonesia Suharto, seorang pemimpin militer dan mistikus Jawa. Kemitraan mereka yang tidak biasa itulah yang membuat ASEAN tetap bersatu.
Kini, kepemimpinan semacam itu dicontohkan oleh kelompok lain yang tampaknya berseberangan secara politik: Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, Sekretaris Jenderal Vietnam Tô Lâm, dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong. Namun, Anwar dan Prabowo sama-sama mengalami masa-masa sulit dalam politik dan menjadi sahabat selama masa itu.
Para pemimpin ASEAN telah menegakkan perdamaian dan stabilitas relatif di negara mereka, sambil menumbuhkan budaya konsultasi dan konsensus (musyawarah dan mufakat dalam budaya Indonesia) dalam mengarahkan hubungan regional. Hal ini sangat kontras dengan pengalaman banyak negara dan kawasan berkembang lainnya.
Baca Juga
Hanya beberapa minggu yang lalu, negara tetangga India dan Pakistan nyaris tak terhindar dari perang skala penuh. Timur Tengah masih dicengkeram oleh ketidakstabilan dan kekerasan, dengan Israel memenangkan perang dan kehilangan perdamaian. Para pemimpin dua ekonomi terbesar di Amerika Latin, Brasil dan Argentina, juga hampir tidak pernah berbincang.
Setelah 48 tahun pertemuan rutin ASEAN – dengan lebih dari 1.000 pertemuan tingkat menteri dan tingkat bawah yang diadakan setiap tahun – keterlibatan yang konstruktif merupakan kebiasaan yang sudah mengakar kuat di kawasan ini. Memang, ASEAN sering dituduh melakukan kerja sama yang tidak berdasar. Namun, tanpa pendekatan yang terukur seperti itu, yang dipandu oleh pragmatisme, pembangunan konsensus, dan kompromi, negara-negara anggota ASEAN tidak akan mampu tetap bersatu melalui berbagai guncangan, termasuk krisis keuangan Asia tahun 1997-98 dan krisis keuangan global satu dekade kemudian.
Usulkan Pertemuan Puncak Dihadiri Trump
ASEAN kini menggunakan kekuatan-kekuatan ini untuk menanggapi tarif Trump. Yang pasti, sifat tarif yang bersifat individual – yang sangat bervariasi di ASEAN, dari 49% untuk Kamboja hingga 10% untuk Singapura – membatasi prospek negara-negara untuk melakukan perundingan kolektif yang sesungguhnya. Namun, negara-negara anggota ASEAN sangat menyadari bahwa mereka lebih kuat jika bersama-sama. Itulah sebabnya, pada pertemuan puncak ASEAN yang baru saja berakhir di Kuala Lumpur, yang diselenggarakan oleh Anwar Ibrahim, kelompok tersebut mengusulkan pertemuan puncak yang dihadiri oleh Trump dan sepuluh pemimpin negara ASEAN.
Hal ini didasarkan pada deklarasi ASEAN pada bulan April yang menyatakan bahwa ASEAN akan mengembangkan “kerangka kerja sama ekonomi ASEAN-AS yang ditingkatkan, tangguh, dan berwawasan ke depan, yang memperkuat keterlibatan konstruktif dan mendorong inisiatif inovatif untuk menghasilkan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, dengan fokus khusus pada sektor-sektor bernilai tinggi.” Pernyataan tersebut mencerminkan kesadaran ASEAN akan nilainya bagi AS
AS Surplus Perdagangan Jasa
AS memiliki surplus perdagangan yang signifikan dalam bidang jasa dengan kawasan ini. Bukan suatu kebetulan bahwa AS berinvestasi besar di ASEAN – hampir US$ 500 juta pada tahun 2023.
Nilai ASEAN akan terus tumbuh, terutama karena upayanya untuk mempererat hubungan dengan organisasi regional dan kekuatan ekonomi lainnya. KTT yang baru saja berakhir dengan Tiongkok dan Dewan Kerja Sama Teluk – yang pertama dari jenisnya – mengirimkan pesan yang jelas: ASEAN tidak menggantungkan masa depannya pada hubungannya dengan AS dan tidak mengabaikan perdagangan terbuka.
Hal ini sejalan dengan suasana global. Sementara itu, Trump terus mengacungkan tarif sebagai senjata terhadap mitra dagang Amerika, di mana negara-negara lain telah menahan diri untuk tidak menaikkan tarif secara sepihak.
ASEAN juga berupaya meningkatkan ketahanan internal dengan memperkuat perdagangan antarnegara anggotanya. Sementara perdagangan intra-ASEAN telah menurun sebagai bagian dari total perdagangan, dari 25% pada tahun 2003 menjadi 21,5% pada tahun 2023, hal ini hanya karena perdagangan dengan negara-negara lain di dunia tumbuh begitu pesat.
Bagaimanapun, kelompok negara di Asia Tenggara ini sekarang berupaya untuk menghapus hambatan nontarif. Lebih dari 99% barang telah mengalir melalui ASEAN tanpa tarif. Selain itu, mengeksplorasi langkah-langkah lain untuk meningkatkan perdagangan di dalam blok tersebut.
Mengingat ekonomi AS sangat tangguh, tarif Trump mungkin akan merusak pertumbuhan ASEAN dalam jangka pendek. Namun, dengan memacu negara-negara ASEAN untuk memperdalam kerja sama satu sama lain dan dengan negara lain, justru tarif AS yang digagas Trump akan menjadikan ASEAN lebih makmur – dan yang terpenting, semakin tangguh. Hal ini terutama mungkin terjadi jika ASEAN memanfaatkan kemitraan yang ada sebaik-baiknya – misalnya, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) serta Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP), yang dapat menarik negosiasi kemitraan baru dengan UE.
ASEAN beruntung memiliki pemimpin yang mampu melakukan upaya tersebut. Apalagi, saat ini, kepemimpinan tersebut berada pada pemimpin yang tepat (cerdas, bersih, dan berani) yaitu yang mulia PM Malaysia Anwar Ibrahim.
Percayalah Asean yang bersatu akan mampu menghadapi TACO (Trump always chicken out, yang mulai populer sebagai sindiran terhadap kebijakan tarif Trump tahun 2025). Tidak usah terlalu gentar, apalagi para pendukung Trump lambat laun akan meninggalkan Trump, seperti yang dimulai oleh orang terkaya dunia Elon Musk.
Jakarta 9 Juni 2025

