Data Ekonomi AS Memburuk, Kurs Rupiah Menguat Kamis Pagi
JAKARTA, investortrust.id – Data ekonomi Amerika Serikat yang memburuk menekan indeks dolar melemah dan yield obligasi pemerintah AS anjlok. Hal itu mendorong kurs rupiah menguat terhadap greenback, pada perdagangan valas di pasar spot Kamis pagi (05/06/2025). Nilai tukar mata uang Garuda juga bergerak menguat terhadap hard currencies lain seperti euro dan yen.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah menguat 11 poin atau 0,07% pada pukul 09.54 WIB ke level Rp 16.283,5 per dolar AS. Namun, secara year to date, mata uang Garuda masih terdepresiasi terhadap greenback. Kurs rupiah pagi ini juga masih lebih rendah dibanding asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 16.000 per dolar AS.
Kemerosotan indeks dolar belakangan ini lantaran perang dagang yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump memicu pelemahan data ekonomi negara adidaya tersebut. "Kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi AS semakin dalam, setelah data ADP Mei menunjukkan penambahan tenaga kerja hanya 37 ribu, terendah sejak Maret 2023 dan jauh di bawah ekspektasi pasar. Di saat yang sama, indeks ISM sektor jasa turun ke 49,9, menandakan mulai terjadinya kontraksi permintaan," kata Fixed Income Analyst di Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno dalam keterangan di Jakarta, Kamis pagi.
Sementara itu, pada pukul 09.50 WIB berdasarkan data Yahoo!Finance, rupiah menguat 11 poin atau 0,06% terhadap euro. Namun, secara year to date, mata uang Garuda masih terdepresiasi 11,68%.
Kurs rupiah juga menguat 0,31 poin atau 0,27% terhadap yen ke Rp 113,83. Namun, secara year to date, mata uang Garuda masih terdepresiasi 11,11%.
Baca Juga
Dolar Loyo dan Geopolitik Memanas, Harga Emas Antam Makin Bersinar
Yield Obligasi AS Anjlok
Karinska menjelaskan, yield obligasi pemerintah AS turun tajam. Imbal UST Note 10 tahun turun lebih dari 10 bps ke 4,35% dan yang tenor 2 tahun ke 3,86%.
"Hal itu mencerminkan ekspektasi pasar terhadap prospek ekonomi AS lebih rapuh dan memengaruhi kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter ke depan. Tekanan dari sisi tarif juga meningkat, setelah tarif impor baja dan aluminium resmi naik menjadi 50%. Hal ini mendorong kenaikan biaya produksi di berbagai sektor, dan berisiko menimbulkan inflasi biaya tanpa didukung oleh pertumbuhan riil," ujar Karinska.
Baca Juga
Permintaan Aluminium Bisa Melonjak 6 Kali Lipat karena 'Booming' EV, Apa Strategi Inalum?
Ia menjelaskan, laporan Beige Book dari The Fed juga turut menggarisbawahi kekhawatiran ini, yang menyoroti aktivitas ekonomi yang melambat di banyak wilayah Negeri Paman Sam, pasar tenaga kerja stagnan, dan ketidakpastian kebijakan yang meningkat. Risiko inflasi di negara dengan ekonomi terbesar dunia itu cenderung naik, karena banyak perusahaan mulai menyiapkan strategi untuk meneruskan beban biaya ke konsumen lewat biaya tambahan sementara, selain menurunkan marginnya.
"Kami menilai situasi ini mencerminkan potensi stagflasi AS. Pertumbuhan ekonominya melemah tapi biaya meningkat, yang bisa mendorong The Fed mempertimbangkan ulang jeda suku bunga lebih cepat dari perkiraan," ungkapnya.
Dari dalam negeri, penurunan BI Rate pada bulan Mei -- yang menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan IHSG bulan lalu -- dinilai belum akan mampu mendorong ekonomi RI dalam jangka pendek dan menengah yang melemah. Ini karena transmisi kebijakan moneter membutuhkan waktu paling cepat satu semester untuk dapat berdampak positif terhadap perekonomian.
Sementara di tengah prospek penerimaan negara yang menurun, pemerintah Indonesia berhati-hati dalam memberi stimulus fiskal. Realisasi belanja pemerintah juga masih tergolong rendah, sampai dengan empat bulan pertama 2025 baru mencapai 22,3% dari total anggaran.
Paket stimulus sebesar Rp 24,4 triliun yang baru saja resmi dikucurkan oleh pemerintah juga dinilai tidak akan mendorong perekonomian nasional secara signifikan. Hal ini 'hanya' untuk menahan supaya tidak terjadi perlambatan ekonomi terlalu signifikan.

