Mampukah BUMN Setor Dividen Rp 125 Triliun Lebih Setahun?
Oleh Ester Nuky, Redaktur Investortrust
INVESTORTRUST.ID - Pada tahun 2024, setoran dividen badan usaha milik negara (BUMN) ke NKRI mencapai Rp 85,5 triliun, melebihi target pemerintah dan mengukir rekor tertinggi baru. Kinerja perusahaan pelat merah ini meningkat sebesar 5,3% dibandingkan tahun sebelumnya, terutama didorong oleh kontribusi besar dari sektor perbankan dan energi.
Sebagai contoh, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) melaporkan setoran dividen terbesar ke negara pada tahun 2024 menembus Rp 25,7 triliun. BUMN lain yang juga penyumbang dividen jumbo adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Pertamina (Persero), dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan peningkatan kinerja BUMN mampu menambah dividen yang dibayarkan ke negara, menjadi Rp 90 triliun tahun ini.Menteri BUMN Erick Thohir juga yakin target dividen Rp 90 triliun dapat tercapai, mempertimbangkan kinerja BUMN pada tahun 2024 yang menunjukkan hasil positif.
Namun, banyak kalangan mengkritisi seharusnya BUMN yang juga mendapat banyak privilege dari negara ini mampu kejar setoran lebih tinggi, misalnya Rp 125 triliun lebih setahun. Realistiskah tuntutan kenaikan dividen 31,6% ini?
Dividen BUMN dan Penyertaan Modal Negara (PMN). PMN merupakan penyertaan modal yang dilakukan oleh pemerintah ke dalam BUMN atau entitas lainnya, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan, mendukung ekspansi usaha, atau melaksanakan penugasan strategis dari negara. Infografis: Diolah Riset Investortrust.
Laba Bersih Rp 304 Triliun Kalau kita bedah, setoran dividen tersebut bersumber dari laba bersih BUMN yang sekitar Rp 304 triliun tahun lalu. Laba bersih ini turun 7,03% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 327 triliun.
Tentu saja, tidak semua laba itu bisa disetor ke negara. Pemerintah sebagai pemegang saham utama BUMN biasanya menetapkan kebijakan pembagian dividen setiap tahun dengan memperhatikan pula kebutuhan yang lain. Ini seperti untuk cadangan perusahaan, investasi dan ekspansi usaha, pelunasan utang, serta penguatan struktur keuangan.
Ambil contoh tahun lalu, dengan laba bersih BUMN Rp 304 triliun, yang disetor sebagai dividen untuk negara Rp 85,5 triliun, atau 28,12%-nya. Artinya masih ada ruang untuk meningkatkan porsi dividen tahun ini.
Pabrik pemurnian logam mulia di dalam area Smelter PT Freeport Indonesia yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto di Gresik, Jawa Timur. Foto: Dok PTFI.
Selain itu, laba juga bisa didorong dengan kombinasi langkah-langkah strategis efisiensi, peluasan pasar, serta adopsi inovasi dan teknologi terkini. Meningkatkan laba bersih ini tidak cukup hanya dengan menekan biaya, tapi juga dengan mendorong pertumbuhan pendapatan melalui ekspansi pasar dan inovasi produk, transformasi digital yang mendalam dan tepat, serta adopsi teknologi strategis seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), hingga big data.
Jangan lupa pula, berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2016 hingga 2023, terdapat 212 kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN, dengan total kerugian negara mencapai sekitar Rp 64 triliun. Korupsi ini hanyalah satu contoh dari berbagai kebocoran. Ada yang lain, seperti kebocoran karena kelemahan sistem, manajemen buruk, atau regulasi yang tidak tepat meski tidak ada unsur pidana di dalamnya.
Artinya, jika kebocoran ini disudahi, tentu mendorong kenaikan kinerja perusahaan. Laba maupun setoran dividen pun otomatis terdongkrak.
Pendekatan kedua untuk menjawab pertanyaan itu adalah dengan menganalisis lewat Return on Assets (ROA). Kita bisa memulai dari penelusuran data yang relatif terbuka, dari perusahaan publik seperti Bank Rakyat Indonesia atau BRI. Berdasarkan data resmi, bank rakyat ini memiliki laba bersih konsolidasi tahun lalu Rp 60,64 triliun, dengan total aset Rp 1.992,98 triliun.
Saat ini, pemerintah RI memiliki sekitar 53,19% saham di BRI yang setara 80,61 miliar saham, dan sisa 46,81% saham dimiliki oleh publik termasuk investor institusi dan individu. Kepemilikan saham pemerintah terdiri dari 1 saham Seri A Dwiwarna, yang memberikan hak khusus kepada pemerintah dalam pengambilan keputusan strategis, serta 80,61 miliar saham Seri B, yang merupakan saham biasa yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Dengan kepemilikan mayoritas, pemerintah memiliki kontrol signifikan terhadap arah strategis dan kebijakan perusahaan, termasuk dalam penunjukan manajemen dan keputusan penting lainnya seperti dividend payout ratio (DPR).
Bank anggota Himbara tersebut memiliki ROA sekitar 3%, yang menunjukkan efisiensi yang baik dalam menghasilkan laba dari aset yang dimilikinya.Angka ini mencerminkan kinerja keuangan yang solid, mengingat sektor perbankan umumnya memiliki ROA rendah, di kisaran 1–3%, dibanding sektor lain yang jauh lebih tinggi.
Sebut saja misalnya emiten tambang pelat merah PT Aneka Tambang Tbk. ROA perusahaan publik berkode saham ANTM ini untuk tahun fiskal 2024 tercatat 8,19%, berdasarkan laporan keuangan tahunan perusahaan yang dirilis pada April 2025. Produsen emas itu memiliki laba bersih Rp 3,65 triliun dan total aset Rp 44,52 triliun.
SWF Indonesia, BPI Danantara, menduduki peringkat keenam sebagai SWF dengan aset terbesar di dunia. Infografis: Diolah Riset Investortrust.
Merujuk catatan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, meski terjadi penurunan laba, pendapatan konsolidasi BUMN justru tumbuh positif sepanjang tahun 2024, mencapai Rp 3.128 triliun atau naik 6,6% dari tahun sebelumnya Rp 2.933 triliun. Fundamental keuangan BUMN juga dinilai tetap solid dengan pertumbuhan aset dan ekuitas yang konsisten.
Kementerian BUMN mencatat total aset konsolidasi perusahaan negara pada 2024 menembus Rp 10.950 triliun, meningkat 5,3% dari tahun sebelumnya Rp 10.402 triliun. Total ekuitas konsolidasi BUMN mencapai Rp 3.510 triliun, naik 1,91% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 3.444 triliun. “Kami mendekati 3% untuk (rasio laba bersih terhadap) total aset, dan juga mendekati 10% pada aspek pengembalian modal,” katanya.
Artinya, jika ROA rata-rata BUMN bisa dinaikkan di atas BRI menjadi 4,5% saja, maka laba bisa didongkrak ke Rp 492,75 triliun. Ini berarti dividen bisa disetor ke RI hingga Rp 138,58 triliun.
ROA itu tentu bukanlah utopia bagi entitas bisnis milik negara. Sovereign wealth funds (SWF) milik Korsel -- Korea Investment Corporation (KIC) yang telah beroperasi sejak 2005 -- misalnya, memiliki tingkat ROA 8,5%; demikian pula China Investment Corporation (CIC) milik Tiongkok mencapai 7,1%. ***