Transisi Energi Harus Dibangun Beriringan dengan Penguatan Hilirisasi
JAKARTA, investortrust.id – Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan pembicaraan soal kedaulatan energi nasional harus dimulai dari pemahaman terhadap realitas transisi energi saat ini. Dalam FGD yang diselenggarakan Investortrust, ia menyoroti beberapa tantangan besar yang dihadapi sektor batu bara nasional seperti pelemahan industri global dan belum optimalnya penguatan hilirisasi di dalam negeri. Ia menegaskan, transisi energi yang dicanangkan pemerintah seharusnya dibangun beriringan dengan penguatan hilirisasi.
"Kita tidak bisa hanya melihat kedaulatan energi dari sisi produksi saja. Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur kita (sempat) mengalami kontraksi di angka 46,7. Di sisi lain, India bahkan menurunkan harga batu baranya dan itu logis, karena menyangkut daya saing di pasar internasional," ujarnya dalam acara FGD Batu Bara dan Kedaulatan Energi Nasional yang diselenggarakan oleh Investortrust, di Artotel Mangkuluhur Jakarta, Rabu (28/05/2025).
Baca Juga
Emas Antam Naik Lagi Tembus Rp1,9 Juta di Tengah Drama Trump dan Sinyal Resesi AS
Singgih juga mengingatkan bahwa saat harga batu bara sempat menyentuh US$ 240 per ton, negara-negara seperti India dan Tiongkok hanya bersedia membeli di harga yang masih mendukung industrinya. "Pasar kita terbesar tetap di India. Kalau mereka hanya mau bayar itu, ya kita tidak punya ruang tawar," katanya.
Persoalan Suplai Batu Bara Kualitas Medium
Menurutnya, konsep transisi energi harus dibangun beriringan dengan penguatan hilirisasi. Ia mengkritisi pendekatan yang hanya mengandalkan cadangan batu bara nasional mencapai 43,9 tahun, yang menurutnya hanya didasarkan pada pembagian total cadangan terhadap tingkat produksi saat ini tanpa memperhitungkan jenis kualitas batu bara dan kebutuhan antara ekspor dan domestik.
"Rasio produksi harus kita koreksi. Jangan terjebak pada angka 43,9 tahun. Bisa jadi nanti ketika ekspor tak terserap dan permintaan domestik tidak bisa dipenuhi, kita kelabakan," ujarnya.
Ia juga menyoroti persoalan suplai batu bara berkualitas medium yang sering sulit ditemukan oleh PLN. "Di sisi lain, pasar sudah tidak seperti dulu. Sekarang, yang medium pun ditawarkan ke PLN karena tidak ada pasar di luar," ujarnya.
Baca Juga
Wall Street Menguat Terangkat Nvidia, tapi Pasar Gelisah Menanti Arah Kebijakan Trump
Lambannya Realisasi Proyek DME
Terkait upaya diversifikasi energi, Singgih menyoroti lambannya realisasi proyek Dimethyl Ether (DME). "Kita bicara DME itu sudah sejak awal, tapi siapa yang mau bangun? Ini bukan proyek main-main. Belum lagi tantangan ekonominya. Kalau harga batu bara di atas US$ 12 per MMBTU, DME tidak ekonomis," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dalam Rencana Umum Energi Nasional, DME ditargetkan dapat menyuplai hingga 3 juta ton setara minyak di tahun 2040. Namun hingga kini, tidak ada kejelasan siapa yang benar-benar siap membangun infrastruktur DME.
Dalam konteks produksi nasional, Singgih mencatat bahwa pemerintah sempat menetapkan batas produksi batu bara di angka 400 juta ton, tapi kemudian dinaikkan menjadi 700 juta ton. “Dulu DEN (Dewan Energi Nasional) ingin kontrol di 400 juta ton, sekarang targetnya bisa sampai 736 juta ton,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa dari 844 Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi yang ada saat ini, masih banyak yang tidak efisien. Menurutnya, perlu peta jalan yang jelas soal multi-efek dari masing-masing IUP tersebut terhadap hilirisasi dan kontribusi pada energi nasional.
Singgih memperingatkan bahwa tanpa pengendalian produksi dan strategi transisi yang matang, Indonesia bisa menghadapi penurunan drastis dalam penerimaan negara dari batu bara, serta meninggalkan dampak lingkungan yang serius. “(Lingkungan) tambang bisa mati mendadak kalau tidak terkendali. Lingkungannya ditinggal,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar pendekatan government to government (G2G) diperkuat dengan negara-negara pengimpor utama seperti India dan Tiongkok. Ini agar ada kepastian permintaan.
“Kalau penurunan tidak dikomunikasikan dengan baik, risikonya bukan hanya ekonomi, tapi juga lingkungan,” tandasnya.

