Danantara Dapat Hasilkan Dividen Rp 163 Triliun/Tahun, Investasi dan Perdagangan Ditingkatkan
JAKARTA, investortrust.id - Kehadiran BPI Danantara dapat menjadi peluang investasi baru, termasuk melalui kerja sama dengan Amerika Serikat dan Cina yang merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Badan pengelola investasi yang memiliki dana dikelola sekitar US$ 900 miliar ini dapat menghasilkan dividen US$ 10 miliar/tahun, atau sekitar Rp 163 triliun (kurs Rp 16.255 per dolar AS).
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie menyoroti pentingnya meningkatkan investasi dan perdagangan dengan banyak negara, termasuk di antaranya AS dan Cina. "Terkait investasi, kehadiran Danantara dapat menjadi peluang investasi baru. Bagaimana tidak, total aset atau dana yang dikelola negara dari Danantara mencapai US$ 900 miliar dan dapat menghasilkan dividen sebesar US$ 10 miliar setiap tahun," ucapnya di acara Indonesia Maritime Week 2025, Jakarta, Rabu (28/05/2025).
Dengan nilai sebesar itu, Anindya menyebut Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan investasinya di berbagai macam sektor. Ini salah satunya adalah di industri hulu seperti minyak, gas, hingga mineral kritis.
"Jika kita akan mengimpor minyak dan gas, mungkin masuk akal bagi kita untuk berinvestasi di AS untuk hulu. Mungkin lebih masuk akal untuk (bisa) meningkatkan (produksi minyak yang dikuasai Indonesia) menjadi satu juta barel per hari. Mereka pun membawa minyak ke sini, lalu berinvestasi di sini," ucapnya.
Dengan nilai sebesar itu, Anindya menyebut Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan investasinya di berbagai macam sektor. Ini salah satunya adalah di industri hulu seperti minyak, gas, hingga mineral kritis.
"Jika kita akan mengimpor minyak dan gas, mungkin masuk akal bagi kita untuk berinvestasi di AS untuk hulu. Mungkin lebih masuk akal untuk (bisa) meningkatkan (produksi minyak yang dikuasai Indonesia) menjadi satu juta barel per hari. Mereka pun membawa minyak ke sini, lalu berinvestasi di sini," ucapnya.
Pemerintah Indonesia menargetkan kenaikan produksi minyak bumi sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada tahun 2030. Sementara, dalam APBN 2025, lifting minyak ditargetkan 605 ribu bph.
Baca Juga
Indonesia Terbuka
Tak hanya dengan Amerika, Anindya menandaskan, Indonesia terbuka bekerja sama meningkatkan investasi dan perdagangan dengan negara-negara lain seperti Tiongkok. Ia menyebut, Indonesia dalam hal perdagangan tidak memosisikan negara pada blok atau kubu tertentu.
"Hubungan Indonesia dan Tiongkok sangat erat. Mereka sangat pragmatis, juga sangat konkret dalam cara melakukan berbagai hal," tutur Anindya.
Selain itu, menurut Anindya, Indonesia juga membuka peluang perdagangan dan investasi dengan negara-negara lainnya. Salah satu upaya dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan bergabung menjadi anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa).
"Jadi kami membuka semua jalur. Karena Indonesia selama ini tidak berpihak, dan menurut saya itu kebijakan yang bagus. Dalam hal perdagangan, saya rasa Indonesia akan terus melakukannya," paparnya.
Peran Sektor Maritim
Ketum Kadin yang akrab disapa Anin ini juga menyoroti pentingnya sektor maritim dalam mendorong perdagangan Indonesia dengan global. "Maritim tidak lepas dari perdagangan, karena di dalamnya terdapat kapal-kapal logistik. Sektor maritim akan mengikuti bagaimana perkembangan kondisi perdagangan," ujarnya.
Anindya menjelaskan kondisi perdagangan saat ini tengah dihebohkan dengan tarif impor resiprositas tinggi yang dilakukan pemerintah AS, termasuk Indonesia yang mendapatkan tarif impor sebesar 32% meski masih ditangguhkan hingga 90 hari per 9 April 2025 untuk memberi waktu negosiasi. AS termasuk mitra dagang utama RI.
"Jadi, kami mengawali bulan ini dengan datang ke Amerika Serikat dari sektor swasta, bukan dari pemerintah karena kami mewakili sektor swasta. Kami ingin ke sana karena Indonesia sedang dalam proses negosiasi dengan AS," ucap Anindya di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (28/05/2025).
Anindya menjelaskan kondisi perdagangan saat ini tengah dihebohkan dengan tarif impor resiprositas tinggi yang dilakukan pemerintah AS, termasuk Indonesia yang mendapatkan tarif impor sebesar 32% meski masih ditangguhkan hingga 90 hari per 9 April 2025 untuk memberi waktu negosiasi. AS termasuk mitra dagang utama RI.
"Jadi, kami mengawali bulan ini dengan datang ke Amerika Serikat dari sektor swasta, bukan dari pemerintah karena kami mewakili sektor swasta. Kami ingin ke sana karena Indonesia sedang dalam proses negosiasi dengan AS," ucap Anindya di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (28/05/2025).
Perdagangan dengan AS dan Cina US$ 180 Miliar
Anindya menjelaskan, saat ini, mitra dagang Indonesia yang paling besar masih Cina, dengan total perdagangan sebanyak US$ 140 miliar. Berikutnya adalah Amerika Serikat yang merupakan mitra dagang terbesar kedua untuk RI.
"AS adalah mitra dagang terbesar kedua dengan US$ 40 miliar. Itu hanya 9% dari perdagangan global, perdagangan Indonesia secara global," tuturnya.
Hingga kini, Anindya mengatakan, pemerintah Indonesia masih berupaya melakukan negosiasi dengan pihak AS agar tarif resiprositas itu dipangkas. Sejumlah hal untuk negosiasi telah disampaikan Indonesia kepada AS, salah satunya dengan menyeimbangkan perdagangan antarkedua negara.
"Pertama, kami dapat menyeimbangkan perdagangan, surplus US$18 miliar (di pihak Indonesia) itu. Caranya dengan mengalokasikan kembali impor minyak dan gas senilai US$ 40 miliar dari tempat lain, sebagian besar (selama ini diimpor dari) Timur Tengah," ungkap Anindya.
Oleh karena itu, ia menegaskan, kita juga dapat menjual lebih banyak peralatan makanan, elektronik, pakaian, dan furnitur ke AS. Sebaliknya, negeri adidaya itu ingin menjual lebih banyak kedelai, gandum, kapas, susu, dan sebagainya.
"Jadi, secara teori, itu bisa dilakukan (peningkatkan perdagangan)," imbuhnya.

