Target Pertumbuhan Ekonomi 8% Makin Berat, Indef Minta Pemerintah Perkuat Hilirisasi
JAKARTA, investortrust.id - Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 8% yang digadang-dagang Presiden Prabowo Subianto akan terasa berat. Hal ini terjadi karena kondisi perekonomian global yang semakin menantang dan belum efektifnya hilirisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Implikasinya apa? Target (pertumbuhan ekonomi) 8% semakin berat,” kata Rizal saat diskusi yang digelar Universitas Paramadina secara daring, Senin (28/4/2025).
Baca Juga
Jadi Kunci Kemakmuran, Gibran Ungkap Potensi Hilirisasi 28 Komoditas Capai Rp 13.000 Triliun
Berkaca masuknya investasi pada 2024, kontribusi masuknya penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) tidak berimbang di sektor sekunder. “PMDN lebih senang di (sektor) tersier,” kata dia.
Selama Januari-Desember 2024, investasi yang masuk ke sektor primer sebesar Rp 297,4 triliun atau 17,3% dari total investasi yang masuk. Investasi di sektor sekunder sebesar Rp Rp 721,3 triliun atau 42% dari total. Sementara, investasi di sektor tersier yaitu Rp 695,5 triliun atau 40% dari total.
Sektor primer, yaitu kehutanan, perikanan, pertambangan, tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Sementara sektor sekunder, yaitu industri pengolahan dan manufaktur. Adapun sektor tersier, yaitu hotel dan restoran, jasa lainnya, konstruksi, perdagangan dan reparasi, transportasi, gudang dan telekomunikasi.
Jika dilihat dari asal investasi, PMDN lebih banyak mengarahkan ke sektor tersier senilai Rp 432,1 triliun atau 53,1% dari total investasi. Sementara, PMA mengarahkan investasi ke sektor sekunder Rp 527 triliun atau 58,5% dari total.
Baca Juga
Anindya Bakrie: Ekspor Stainless Steel Catatkan Surplus ke China Jadi Sinyal Suksesnya Hilirisasi
Selain investasi di sektor sekunder, Rizal mengamati terjadinya pola fluktuatif investasi pada kuartal IV-2024 yang mencapai Rp 134,9 triliun setelah sempat turun di Rp 75,8 triliun pada kuartal III-2025. Pola ini mengindikasikan ketidakstabilan arus investasi hilirisasi sepanjang tahun. “Hal ini mencerminkan ketergantungan terhadap proyek-proyek besar tertentu atau lemahnya pipeline investasi yang berlanjut di sektor ini,” kata dia.
Untuk itu, Rizal berharap, pemerintah segera memperbaiki investasi di sektor hilirisasi ini. Tidak hanya membangun hilirisasi di komoditas primer, pemerintah diminta membangun ekosistem industri di komoditas intermediate dan manufaktur berteknologi menengah tinggi.
“Daya tarik pasar Indonesia besar, tetapi belum menjadi magnet karena execution gap antara desain kebijakan dan realisasi di lapangan. Investor lebih butuh predictability dan policy stability ketimbang insentif fiskal semata,” ujar dia.

