Perpanjangan Penangguhan TikTok oleh Trump Jadi Simbol Politik Lawan China, Mengapa?
JAKARTA, investortrust.id - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan kembali memperpanjang penangguhan larangan terhadap TikTok. Pengamat Hubungan Internasional, Fauzi Rachman, menyebut hal ini mencerminkan simbol perlawanan politik terhadap China daripada sekadar isu keamanan data atau kepentingan ekonomi.
“Bagi saya ini seperti simbol bagi Trump untuk melawan China,” ujar Fauzi saat dihubungi oleh investortrust.id, Selasa (10/6/2025).
“TikTok dilihat sebagai kebesaran China dalam mengganggu dominasi media sosial ala Barat. Selain itu, bisa saja Trump terus memaksa TikTok untuk divestasi sebagai bukti bahwa ia ‘berani’ melawan China yang sebenarnya tidak berani-berani amat bila dilihat dari fenomena Trump’s Tariff,” lanjutnya.
TikTok yang dimiliki oleh ByteDance menghadapi larangan operasional di AS sejak Januari 2025. Meski larangan itu sempat dikuatkan oleh Mahkamah Agung, Trump mengeluarkan perintah eksekutif pertama untuk menunda pelaksanaannya pada 20 Januari, sehari setelah pelantikannya. Penangguhan tersebut diperpanjang kembali pada April dan kini akan kembali diperpanjang menjelang tenggat 19 Juni.
Meski pemerintah AS belum menyampaikan secara rinci durasi perpanjangan terbaru, langkah ini dianggap sebagai bagian dari pendekatan politik Trump pada China yang lebih menitikberatkan pada simbol dan tekanan ketimbang solusi konkret.
TikTok yang dimiliki oleh ByteDance menghadapi larangan operasional di AS sejak Januari 2025. Meski larangan itu sempat dikuatkan oleh Mahkamah Agung, Trump mengeluarkan perintah eksekutif pertama untuk menunda pelaksanaannya pada 20 Januari, sehari setelah pelantikannya. Penangguhan tersebut diperpanjang kembali pada April dan kini akan kembali diperpanjang menjelang tenggat 19 Juni.
Meski pemerintah AS belum menyampaikan secara rinci durasi perpanjangan terbaru, langkah ini dianggap sebagai bagian dari pendekatan politik Trump pada China yang lebih menitikberatkan pada simbol dan tekanan ketimbang solusi konkret.
“Trump tidak hanya menyasar isu data dan keamanan, tetapi juga menggunakan TikTok sebagai alat simbolik untuk menunjukkan sikap keras terhadap China. Ini bisa menjadi modal politik domestik, terutama jelang pemilu paruh waktu,” ujar Fauzi.
Dalam konteks ekonomi, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pertamina itu menyebut, kebijakan Trump pada TikTok tidak berdiri sendiri. Sejak April, pemerintahan Trump juga kembali menerapkan tarif impor tinggi hingga 125% terhadap barang-barang asal China. Namun, efektivitas kebijakan tarif ini masih dipertanyakan, mengingat belum adanya kemajuan dalam pembicaraan dagang bilateral dan masih menggantungnya proses divestasi TikTok.
Perpanjangan penangguhan ini juga menuai respons beragam dari kalangan senator, terutama dari Partai Republik. Beberapa di antaranya secara terbuka menentang keputusan Trump karena dianggap memperlemah posisi negosiasi dan membuka celah keamanan nasional.
Namun Fauzi menilai, perbedaan pandangan di lingkaran politik AS terhadap Trump bukan hal luar biasa. “Trump sudah dua kali di-impeach oleh House of Representatives, satu-satunya Presiden yang mengalami itu dua kali. Jadi kalau ada senator dari partainya sendiri yang tidak sejalan, itu bukan hal baru,” tambahnya.
Di balik tarik ulur kebijakan, perusahaan seperti Oracle masih menunjukkan minat dalam proses akuisisi TikTok versi AS. Namun sampai kini, kesepakatan masih belum menemukan titik terang.
Bagi pelaku industri digital dan investor, langkah Trump ini menambah ketidakpastian iklim bisnis lintas batas. Meski belum menimbulkan gejolak besar di pasar, keberlanjutan sengketa ini bisa memicu reaksi lanjutan dalam hubungan ekonomi AS-China, terutama di sektor teknologi dan data.

