Yield Obligasi Jepang Mendekati Rekor, Ancaman bagi Aset Keuangan AS
TOKYO, investortrust.id - Lonjakan imbal hasil obligasi jangka panjang di Jepang memicu kekhawatiran aliran dana keluar dari Amerika Serikat dan berakhirnya era carry trade yang selama ini menopang stabilitas pasar global.
Baca Juga
Yield Obligasi 10 Tahun Jepang Capai Level Tertinggi Sejak 2008
Pada Rabu, permintaan terhadap obligasi pemerintah Jepang (JGB) tenor 40 tahun turun ke level terendah sejak November, menurut perhitungan Reuters. Yield untuk surat utang tenor tersebut sempat menyentuh rekor 3,689% pekan lalu, dan kini berada di kisaran 3,318%—naik hampir 70 basis poin sepanjang tahun ini.
Obligasi tenor 30 tahun juga melonjak lebih dari 60 basis poin ke 2,914%, sedangkan tenor 20 tahun naik lebih dari 50 basis poin.
Kenaikan yield ini membuka peluang repatriasi modal oleh investor Jepang, yang selama ini berinvestasi besar-besaran di pasar AS. Dalam sebuah catatan, analis Macquarie menyebut kemungkinan adanya “titik pemicu” di mana investor Jepang secara tiba-tiba menarik dananya dari pasar luar negeri untuk kembali ke dalam negeri.
Albert Edwards, Global Strategist di Societe Generale CIB, memperingatkan bahwa jika tren ini berlanjut, dampaknya bisa sangat merusak. “Ini bisa memicu Armageddon di pasar keuangan global,” ujarnya kepada CNBC. Ia juga menyoroti bahwa penguatan yen akan mengikis minat investor domestik untuk menempatkan dana di luar negeri, terutama di saham-saham teknologi AS yang selama ini menjadi tujuan utama arus masuk dana Jepang.
David Roche, strategis di Quantum Strategy, menambahkan bahwa tingginya yield akan memperketat likuiditas global dan menekan pertumbuhan dunia. “Pertumbuhan global bisa turun ke 1%, sementara kondisi keuangan makin ketat dan memperpanjang pasar bearish di berbagai kelas aset,” ujarnya. Ia juga menyebut tren ini sebagai “akhir dari keistimewaan AS”, seraya menyebut tren serupa juga terlihat di Eropa dan China.
Carry Trade
Penyebab utama dari perubahan bentuk kurva yield Jepang adalah struktur permintaan yang berubah. Rong Ren Goh, manajer portofolio pendapatan tetap di Eastspring Investments, menjelaskan bahwa perusahaan asuransi jiwa Jepang—salah satu pembeli utama JGB jangka panjang—telah memenuhi kuota pembelian mereka yang berbasis regulasi. Ditambah dengan penurunan pembelian obligasi oleh Bank of Japan sejak perubahan kebijakan besar tahun lalu, pasar menghadapi ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan.
Baca Juga
Dana Asing Terus Masuk, Rupiah Makin Perkasa terhadap Dolar dan Yen
“Jika yield JGB yang tinggi menarik investor Jepang untuk kembali ke dalam negeri, proses unwinding carry trade bisa menimbulkan suara 'hampir seperti hisapan keras' pada aset keuangan AS,” kata Edwards, dikutip dari CNBC, Rabu (28/5/2025). Ia menambahkan bahwa yield tinggi cenderung memperkuat mata uang asal.
Carry trade melibatkan peminjaman dana dengan suku bunga rendah—seperti yen—untuk diinvestasikan pada aset yang memberikan imbal hasil lebih tinggi di luar negeri. Agustus lalu, carry trade berbasis yen mulai runtuh setelah Bank of Japan menaikkan suku bunga, memicu penguatan yen dan aksi jual besar di pasar global.
“Jepang seperti bom waktu. Jika kepercayaan pada salah satu aset paling aman di pasar global runtuh, maka kepercayaan pasar secara keseluruhan juga bisa ikut runtuh,” kata Michael Gayed, manajer portofolio di Tidal Financial Group. Ia menambahkan bahwa banyak pelaku pasar keliru menganggap guncangan Agustus lalu hanya insiden sekali waktu.
Gayed juga menyinggung kebijakan pemerintah AS yang ingin menekan yield dan melemahkan dolar demi menyeimbangkan perdagangan global. Jika kebijakan itu bertemu dengan kenaikan yield JGB, efeknya bisa mematikan narasi yen murah yang selama ini menopang carry trade. “Itu bisa mendorong banyak trader untuk menutup posisi short yen mereka, dan kita bisa melihat pengulangan Agustus lalu,” ujarnya.
Alicia García-Herrero, kepala ekonom Asia Pasifik di Natixis, bahkan memperkirakan guncangan kali ini bisa lebih parah. Menurutnya, penguatan yen yang terjadi akibat repatriasi dana dan pemangkasan eksposur dolar AS tidak berkelanjutan bagi ekonomi Jepang.
Sejauh ini, yen telah menguat lebih dari 8% sejak awal tahun.
Erosi Bertahap
Namun, tak semua analis memprediksi kehancuran instan. Guy Stear, kepala riset pasar maju di Amundi, menilai bahwa posisi carry trade besar biasanya terbentuk saat ada tren nilai tukar yang kuat atau volatilitas rendah serta selisih suku bunga jangka pendek yang besar. Pada kuartal kedua 2024, selisih antara yield Treasury AS 2 tahun dan obligasi Jepang adalah 450 basis poin. Kini, hanya 320 basis poin.
Baca Juga
Inflasi Inti Jepang April Melaju 3,5%, Tertinggi dalam Lebih dari 2 Tahun
“Keuntungan dari posisi short yen tidak terlalu jelas sekarang,” ujar Stear. Dolar yang melemah juga membuat jumlah posisi short yen lebih sedikit dibandingkan tahun lalu.
Riccardo Rebonato, profesor keuangan di EDHEC Business School, menyatakan bahwa gejolak kali ini kemungkinan akan lebih bertahap. “Alih-alih ledakan, saya melihat ini sebagai erosi bertahap selama periode yang lebih panjang,” katanya.
Masahiko Loo, Senior Fixed Income Strategist di State Street Global Advisors, menyebut kepemilikan Jepang atas Treasury AS lebih bersifat struktural, bagian dari aliansi strategis AS-Jepang secara ekonomi, pertahanan, dan geopolitik. “Karena itu, kami melihat risiko pelepasan besar-besaran atau penjualan panik obligasi asing oleh investor Jepang sangat kecil,” ujarnya.
Data dari State Street menunjukkan bahwa sebagian besar aset luar negeri yang dimiliki asing berbentuk saham AS, bukan obligasi. Menurut Torsten Slok, kepala ekonom Apollo, kepemilikan asing atas saham AS mendekati $18,5 triliun, dibandingkan dengan $7,2 triliun untuk Treasury AS.
“Kami tidak menutup kemungkinan terjadi arus keluar modal asing dari aset berisiko jika terjadi resesi parah di AS atau narasi 'jual Amerika' menguat. Namun kemungkinan besar arus keluar akan dimulai dari saham, lalu obligasi korporasi, dan kecil kemungkinan dimulai dari Treasury,” tutup Loo.

