Kejatuhan Wall Street Berimbas ke Asia, Nikkei 225 Jepang Dibuka Anjlok
TOKYO, investortrust.id - Pasar saham Asia-Pasifik dibuka dalam tekanan pada Kamis (22/5/2025), menyusul aksi jual besar-besaran di Wall Street. Pelaku pasar global bereaksi negatif terhadap rancangan anggaran terbaru Amerika Serikat yang dinilai dapat memperparah tekanan fiskal di tengah tren suku bunga tinggi.
Baca Juga
Dikutip dari CNBC, indeks acuan Nikkei 225 Jepang melemah 1,06% pada awal perdagangan, sedangkan Topix terkoreksi 0,85%. Bursa Korea Selatan juga terseret ke zona merah, dengan Kospi turun 0,59% dan Kosdaq kehilangan 0,69%. Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia turun 0,36%, dan Hang Seng Hong Kong serta CSI 300 masing-masing melemah 0,24% dan 0,14%.
Investor regional turut menanti rincian anggaran 2025 Selandia Baru, yang dijadwalkan diumumkan hari ini.
Sentimen negatif berasal dari pasar AS. Ketiga indeks utama turun tajam pada Rabu waktu setempat. Dow Jones Industrial Average anjlok 816,80 poin atau 1,91% ke level 41.860,44. S&P 500 turun 1,61% ke 5.844,61 dan Nasdaq Composite melemah 1,41% ke 18.872,64.
Baca Juga
Wall Street Ambruk Dibayangi Kekhawatiran Defisit AS, Dow Nyungsep 800 Poin
Pelemahan tersebut terjadi seiring lonjakan tajam imbal hasil obligasi pemerintah AS. Yield obligasi tenor 30 tahun melonjak ke 5,09%, tertinggi sejak Oktober 2023. Sementara itu, yield acuan 10 tahun naik ke level 4,59%.
"Pasar mulai mempertanyakan keberlanjutan posisi fiskal AS di tengah kenaikan pengeluaran. Rancangan anggaran baru dapat mempercepat pembengkakan defisit, yang sudah berada pada tingkat sangat tinggi," ujar seorang analis fiskal senior di New York, yang tidak disebutkan namanya, kepada media lokal.
Futures saham AS terpantau datar. Futures Dow Jones turun tipis 60 poin, sementara S&P 500 dan Nasdaq 100 hampir tidak berubah, mencerminkan kehati-hatian pasar menjelang kejelasan lebih lanjut dari proses legislasi anggaran di Washington.
Dengan yield obligasi yang kembali melonjak dan ketegangan fiskal AS yang terus membayangi, pelaku pasar di Asia tampaknya mulai memperhitungkan kembali risiko makro yang lebih luas terhadap arus modal dan prospek pertumbuhan kuartal mendatang.

