Dorong Pertumbuhan Ekonomi, China Pangkas Suku Bunga Acuan
BEIJING, investortrust.id - China memangkas suku bunga pinjaman utamanya sebesar 10 basis poin pada hari Selasa (20/5/2025), seiring upaya Beijing untuk mendorong ekonominya di tengah ketegangan perdagangan yang mengancam pertumbuhan.
Bank Rakyat China (PBOC) memangkas suku bunga pinjaman utama (Loan Prime Rate/LPR) tenor 1 tahun menjadi 3,0% dari sebelumnya 3,1%, dan LPR tenor 5 tahun menjadi 3,5% dari sebelumnya 3,6%.
Baca Juga
PBOC Pertahankan Bunga Acuan di Tengah Ancaman Tarif dan Perlambatan Ekonomi
Ini menandai penurunan suku bunga pertama sejak pemangkasan 25 basis poin oleh bank sentral pada Oktober lalu, saat Beijing meningkatkan upaya untuk menopang ekonominya.
Suku bunga pinjaman acuan — yang biasanya dibebankan kepada klien terbaik bank — dihitung setiap bulan berdasarkan suku bunga yang diajukan oleh bank-bank komersial tertentu kepada PBOC.
LPR tenor 1 tahun memengaruhi pinjaman korporasi dan sebagian besar pinjaman rumah tangga di China, sementara LPR tenor 5 tahun menjadi acuan untuk suku bunga hipotek.
Pemangkasan suku bunga ini dilakukan setelah sejumlah bank komersial besar milik negara memangkas suku bunga simpanan mereka hingga 25 basis poin pada Selasa pagi, dalam upaya melindungi margin bunga bersih mereka, sehingga membuka jalan bagi penurunan suku bunga pinjaman utama.
Paket pemangkasan suku bunga ini merupakan bagian dari rangkaian langkah stimulus yang diumumkan Beijing awal bulan ini, termasuk pemangkasan suku bunga pinjaman dan pengurangan jumlah cadangan kas yang harus disimpan bank. Suku bunga hipotek di bawah dana perumahan nasional — lembaga pembiayaan perumahan yang didukung pemerintah — juga diturunkan sebesar 25 basis poin.
Yuan offshore China berhasil mengurangi tekanan depresiasi dan tetap relatif stabil, terakhir diperdagangkan di 7,2178 terhadap dolar AS, setelah sempat melemah ke rekor terendah di 7,4287 bulan lalu, menurut data LSEG.
Ketakutan akan perang dagang mereda setelah pertemuan antara perwakilan perdagangan AS dan China di Swiss awal bulan ini menghasilkan pengurangan tarif antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut. Beijing dan Washington sepakat untuk mencabut sebagian besar tarif selama 90 hari, memberikan ruang untuk negosiasi lebih lanjut guna mencapai kesepakatan yang lebih permanen.
Baca Juga
Terobosan Perang Dagang: AS-China Sepakat Pangkas Tarif Selama 90 Hari
Hal ini mendorong sejumlah bank investasi global untuk menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China tahun ini, sambil mengurangi ekspektasi akan stimulus yang lebih agresif, karena Beijing berupaya mencapai target pertumbuhan sekitar 5%.
Nomura menaikkan proyeksi pertumbuhan PDB China untuk kuartal yang berakhir Juni menjadi 4,8% dari sebelumnya 3,7%, didukung oleh data ekonomi yang tangguh pada April, serta meningkatkan proyeksi pertumbuhan tahunan menjadi 3,7% dari sebelumnya 3,5%.
Meski ada prospek jangka pendek yang membaik, bank tersebut memperingatkan adanya “risiko tinggi ekonomi mengalami pukulan ganda” akibat keterpurukan sektor properti yang berkepanjangan dan kemungkinan AS kembali menaikkan tarif.
Pemerintah China telah menetapkan target pertumbuhan yang ambisius sebesar “sekitar 5%” tahun ini.
Harga grosir mencatat penurunan terdalam dalam enam bulan pada April, sementara harga konsumen turun untuk bulan ketiga berturut-turut, menandakan tekanan deflasi yang terus berlanjut dalam perekonomian. Di tengah beban deflasi ini, para ekonom secara luas memperkirakan Beijing akan meluncurkan stimulus tambahan secara bertahap dan dengan kecepatan yang lebih lambat.
Langkah-langkah stimulus tambahan kemungkinan akan “lebih ringan dan tertunda mengingat jalur tarif yang lebih rendah,” tulis tim ekonom Morgan Stanley dalam sebuah catatan pada hari Senin.
Meski ada kelonggaran tarif, tarif perdagangan berbobot AS terhadap China tetap tinggi di angka 40%, jauh di atas tarif 11% sebelum Trump kembali menjabat, menurut estimasi bank investasi tersebut.
“Deflasi bisa saja terus berlangsung, mengingat tarif yang masih tinggi dan kebijakan yang bersifat reaktif,” tambah ekonom Morgan Stanley, seperti dikutip CNBC. Tarif yang lebih tinggi pada akhirnya akan melemahkan permintaan eksternal setelah aktivitas ekspor jangka pendek mereda, memperburuk masalah kelebihan kapasitas domestik.

