OPEC+ Genjot Produksi, Harga Minyak Terjun Bebas
NEW YORK, investortrust.id – Harga minyak mentah global kembali tertekan pada awal pekan ini, setelah OPEC+ mengumumkan keputusan mengejutkan untuk meningkatkan produksi secara agresif di bulan Juni. Langkah ini memicu kekhawatiran pasar atas potensi kelebihan pasokan (oversupply), memperparah tekanan dari sisi permintaan yang sudah melambat akibat ketegangan perdagangan global.
Baca Juga
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) merosot US$2,49 atau 4,27% ke level US$55,80 per barel, sedangkan Brent turun US$2,39 atau 3,9% menjadi US$58,90 per barel. Kedua acuan harga ini kini telah anjlok lebih dari 20% sepanjang tahun 2025.
OPEC+ yang dipimpin Arab Saudi sepakat untuk menambah pasokan sebesar 411.000 barel per hari (bph) di bulan Juni, melanjutkan lonjakan serupa di bulan Mei. Total tambahan pasokan dalam dua bulan mencapai lebih dari 800.000 bph, jauh melampaui ekspektasi pasar dan tiga kali lipat dari proyeksi awal Goldman Sachs.
Langkah agresif ini terjadi di tengah kondisi pasar yang belum pulih. Pada April, minyak mencatatkan penurunan bulanan terbesar sejak 2021, dipicu kekhawatiran bahwa tarif baru yang diberlakukan Presiden Donald Trump akan menekan pertumbuhan global dan permintaan energi.
Baca Juga
Minyak Anjlok Lebih dari 15% pada April, Penurunan Bulanan Terdalam Sejak 2021
Tekanan harga ini berdampak luas pada industri hulu. Perusahaan jasa energi seperti Baker Hughes dan SLB memperkirakan belanja eksplorasi dan produksi akan menurun tahun ini. “Pasar minyak yang kelebihan pasokan, kenaikan tarif, ketidakpastian di Meksiko, serta perlambatan di Arab Saudi secara bersama-sama menahan investasi hulu internasional,” urai Lorenzo Simonelli, CEO Baker Hughes dalam paparan kinerja kuartal I, seperti dikutip CNBC.
Raksasa migas Chevron dan ExxonMobil juga merasakan dampaknya, dengan laba kuartal pertama yang melemah dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara itu, Goldman Sachs kini memproyeksikan harga rata-rata WTI dan Brent masing-masing hanya mencapai US$59 dan US$63 per barel sepanjang 2025.
Investor kini dihadapkan pada dilema baru, yaitu pasokan global yang terus bertambah di tengah ketidakpastian geopolitik dan potensi perlambatan ekonomi yang makin nyata.

