100 Hari Pertama Trump, ‘Sukses’ Mengguncang Ekonomi Global
WASHINGTON, investortrust.id – Mengejutkan, susah ditebak, cepat berubah, itulah salah satu kesan gaya kepemimpinan Donald Trump pada masa pemerintahan keduanya yang juga disebut Trump 2.0. Sejak kembali ke Gedung Putih, 20 Januari 2025, Presiden AS ke 45 dan 47 ini selalu menjadi sorotan karena kebijakan dan pernyataannya yang mengejutkan.
Trump telah meluncurkan tarif resiprokal, dengan tingkat tarif tinggi ke sejumlah mitra dagang yang dianggap menyebabkan defisit perdagangan AS. Kebijakan tarif tinggi ini memicu pembalasan dari sejumlah negara, seperti Kanada, China dan negara Uni Eropa. China bahkan membalas dengan pemberlakuan tarif 125%, yang kemudian dibalas lagi oleh AS dengan tarif 245%. Perang dagang ini telah mengguncang ekonomi global, walaupun Trump telah menunda pemberlakuan tarif barunya, kecuali untuk China.
Baca Juga
Pada masa pemerintahannya, Trump memangkas bantuan luar negeri AS. Ia telah merendahkan sekutu NATO dan merangkul narasi Rusia tentang invasinya ke Ukraina. Trump menyerukan untuk mencaplok Greenland, merebut kembali Terusan Panama, dan menjadikan Kanada sebagai negara bagian ke-51.
Dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Trump telah melancarkan kampanye yang sering tidak dapat diprediksi, mengguncang sebagian dari tatanan dunia berbasis aturan yang selama ini dibangun Washington sejak akhir Perang Dunia II.
"Trump kini jauh lebih radikal dibandingkan delapan tahun lalu. Saya terkejut," ujar Elliott Abrams, seperti dikutip Reuters. Abrams adalah seorang konservatif yang pernah bertugas di bawah Presiden Ronald Reagan dan George W. Bush sebelum diangkat menjadi utusan khusus AS untuk Iran dan Venezuela di masa jabatan pertama Trump.
Agenda "America First" Trump di periode keduanya telah mengasingkan sekutu dan memberanikan musuh, sekaligus menimbulkan pertanyaan sejauh mana ia akan melangkah. Tindakannya, ditambah ketidakpastian tersebut, telah membuat beberapa pemerintahan begitu resah sehingga mereka merespons dengan cara-cara yang mungkin sulit dibalikkan, bahkan jika seorang presiden AS yang lebih tradisional terpilih pada 2028.
Baca Juga
Trump Usung "America First", Bagaimana Dunia Harus Bereaksi?
Semua ini terjadi di tengah apa yang oleh para kritikus presiden dari Partai Republik itu dilihat sebagai tanda-tanda kemunduran demokrasi di dalam negeri yang turut memicu kekhawatiran di luar negeri. Ini termasuk serangan verbal terhadap hakim, tekanan terhadap universitas, serta pemindahan migran ke penjara terkenal di El Salvador sebagai bagian dari kampanye deportasi yang lebih luas.
"Apa yang kita lihat adalah gangguan besar dalam urusan dunia," kata Dennis Ross, mantan negosiator Timur Tengah untuk pemerintahan Demokrat dan Republik. Saat ini tidak ada yang benar-benar yakin bagaimana menilai situasi ini atau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Terkait kiprah Trump dalam pemerintahannya, Reuters mewawancarai sejumlah pejabat pemerintah saat ini dan sebelumnya, diplomat asing, dan analis independen di Washington dan berbagai ibu kota dunia. Penilaian tentang guncangan Trump terhadap sistem global ini mencuat dari wawancara itu.
Sebagian berpendapat bahwa meski kerusakan yang telah terjadi mungkin bertahan lama, situasinya belum sepenuhnya tak dapat diperbaiki. Terutama, jika Trump melunak dalam pendekatannya. Trump sudah mundur dari beberapa isu, termasuk soal waktu dan tingkat tarifnya.
Namun mereka melihat sedikit peluang adanya perubahan besar dari Trump, dan malah memperkirakan banyak negara akan melakukan perubahan permanen dalam hubungan mereka dengan AS untuk melindungi diri dari ketidakpastian kebijakannya.
Dampaknya sudah mulai terasa.
Beberapa sekutu Eropa, misalnya, berupaya meningkatkan industri pertahanan mereka sendiri untuk mengurangi ketergantungan pada senjata AS. Perdebatan semakin intensif di Korea Selatan tentang pengembangan arsenal nuklir sendiri. Dan spekulasi meningkat bahwa memburuknya hubungan bisa mendorong mitra-mitra AS untuk mendekat ke China, setidaknya dalam bidang ekonomi.
Gedung Putih menolak anggapan bahwa Trump telah merusak kredibilitas AS, sebaliknya menekankan perlunya "membersihkan" akibat apa yang mereka sebut sebagai kepemimpinan "lemah" mantan Presiden Joe Biden di panggung dunia.
"Presiden Trump mengambil tindakan cepat untuk mengatasi tantangan, dengan membawa Ukraina dan Rusia ke meja perundingan untuk mengakhiri perang mereka, menghentikan aliran fentanyl, dan melindungi pekerja Amerika dengan meminta pertanggungjawaban China, serta membawa Iran ke meja perundingan dengan menerapkan kembali tekanan maksimum," urai juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Brian Hughes, dalam sebuah pernyataan.
Ia juga mengatakan Trump "membuat Houthi membayar atas aksi terorisme mereka... dan mengamankan perbatasan selatan kita yang telah terbuka untuk invasi selama empat tahun."
Lebih dari separuh warga Amerika, termasuk satu dari lima pendukung Partai Republik, berpandangan bahwa Trump "terlalu dekat" dengan Rusia, dan publik Amerika menunjukkan sedikit minat terhadap agenda ekspansionis yang diusulkannya, menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos yang selesai pada 21 April.
Pertaruhan Besar
Yang dipertaruhkan, kata para ahli, adalah masa depan sistem global yang telah terbentuk selama delapan dekade terakhir di bawah dominasi AS. Sistem ini berlandaskan pada perdagangan bebas, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap integritas teritorial.
Namun di bawah Trump, yang mencemooh organisasi multilateral dan sering memandang urusan global lewat kacamata transaksional ala pengembang real estate, tatanan dunia itu terguncang.
Menuduh mitra dagang telah "merampok" AS selama puluhan tahun, Trump melancarkan kebijakan tarif besar-besaran yang mengacaukan pasar keuangan, melemahkan dolar, dan memicu peringatan tentang perlambatan ekonomi global serta meningkatnya risiko resesi.
Trump menyebut tarif itu sebagai "obat" yang diperlukan, namun tujuannya tetap tidak jelas bahkan ketika pemerintahannya berusaha menegosiasikan kesepakatan terpisah dengan puluhan negara.
Pada saat yang sama, ia hampir membalikkan kebijakan AS terhadap perang Rusia di Ukraina yang telah berlangsung selama tiga tahun, bahkan terlibat dalam adu argumen di Ruang Oval dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy pada akhir Februari. Ia menghangatkan hubungan dengan Moskow dan menimbulkan kekhawatiran bahwa ia akan memaksa Kyiv yang didukung NATO menerima kehilangan wilayah, sambil mengutamakan perbaikan hubungan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Baca Juga
AS-Ukraina Gagal Capai Kesepakatan, Trump Sebut Zelenskyy Tak Menghormati Gedung Putih
Pelecehan pemerintahannya terhadap Eropa dan NATO, pilar utama keamanan transatlantic, telah menimbulkan keresahan mendalam.
Kanselir Jerman, Friedrich Merz, setelah memenangkan pemilu Februari, menyatakan keprihatinannya atas hubungan Eropa-AS, dengan mengatakan akan sulit jika mereka yang mengutamakan "America First" justru menjadikan semboyannya "America Alone".
"Ini benar-benar lima menit menjelang tengah malam bagi Eropa," kata Merz.
Dalam pukulan lain terhadap citra global Washington, Trump menggunakan retorika ekspansionis yang telah lama dihindari presiden modern, yang menurut beberapa analis bisa dijadikan pembenaran oleh China jika memutuskan untuk menginvasi Taiwan.
Dengan gaya yang meledak-ledak, Trump bersikeras AS akan "mengambil" Greenland, sebuah pulau semi-otonom milik Denmark. Ia membuat marah Kanada dengan mengatakan negara itu tidak punya alasan untuk ada dan seharusnya menjadi bagian dari AS. Ia mengancam akan merebut Terusan Panama, yang diserahkan kepada Panama pada 1999. Ia juga mengusulkan agar Washington mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi resor bergaya Riviera.
Beberapa analis mengatakan Trump mungkin berusaha menghidupkan kembali struktur global ala Perang Dingin di mana kekuatan besar membagi wilayah kekuasaan.
Namun demikian, ia belum memberikan rincian tentang bagaimana AS bisa memperoleh wilayah tambahan, dan beberapa ahli menduga ia mungkin menggunakan posisi ekstrem tersebut sebagai taktik negosiasi.
Tetapi beberapa negara mulai menganggapnya serius.
"Ketika Anda menuntut untuk mengambil alih bagian dari wilayah Kerajaan Denmark, ketika kami menghadapi tekanan dan ancaman dari sekutu terdekat kami, apa yang harus kami percayai tentang negara yang selama ini kami kagumi?" kata Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen dalam konferensi pers di Greenland awal April. "Ini tentang tatanan dunia yang telah kita bangun bersama di seberang Atlantik selama beberapa generasi."
Adaptasi Hadapi Trump 2.0
Pemerintah lain juga mulai beradaptasi.
Uni Eropa, yang diklaim Trump tanpa bukti dibentuk untuk "mengakali" AS – telah menyiapkan serangkaian tarif balasan jika negosiasi gagal.
Beberapa negara seperti Jerman dan Prancis mempertimbangkan untuk meningkatkan belanja pertahanan mereka, sesuatu yang telah lama dituntut Trump, tetapi kini juga berarti berinvestasi di industri pertahanan mereka sendiri dan membeli lebih sedikit senjata dari AS.
Dengan persahabatan historisnya dengan AS yang kini retak, Kanada berusaha memperkuat hubungan ekonomi dan keamanan dengan Eropa. Ini terjadi di tengah pemilu nasional Kanada hari Senin, yang didominasi oleh kemarahan pemilih terhadap tindakan Trump, memicu gelombang nasionalisme dan persepsi bahwa AS bukan lagi mitra yang dapat diandalkan.
Korea Selatan juga terguncang oleh kebijakan Trump, termasuk ancamannya menarik pasukan AS. Namun Seoul bertekad untuk tetap bekerja sama dengan Trump dan mempertahankan aliansi yang dianggap penting melawan ancaman Korea Utara yang bersenjata nuklir.
Sekutu AS, Jepang, juga berada dalam kondisi waspada. Jepang terkejut dengan besarnya tarif Trump dan "sekarang berupaya keras untuk merespons," kata seorang pejabat senior pemerintah Jepang yang dekat dengan Perdana Menteri Shigeru Ishiba.
Pertanyaan utama adalah apakah beberapa pemerintah diam-diam akan mengambil langkah cadangan dengan mempererat hubungan perdagangan dengan China, sasaran utama tarif Trump.
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing awal April, dan baru-baru ini China mengatakan telah bertukar pandangan dengan UE untuk memperkuat kerja sama ekonomi.
Beijing memposisikan dirinya sebagai solusi bagi negara-negara yang merasa dibully oleh pendekatan perdagangan Trump, meskipun catatan praktik predatornya di kancah internasional, dan juga berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemotongan bantuan kemanusiaan Trump.
Aaron David Miller, mantan diplomat veteran AS di pemerintahan Republik dan Demokrat, mengatakan bahwa belum terlambat bagi Trump untuk mengubah arah kebijakan luar negerinya, terutama jika ia mulai merasakan tekanan dari sesama Republikan yang khawatir dengan risiko ekonomi saat mereka berupaya mempertahankan kendali atas Kongres dalam pemilu sela tahun depan.
Jika Trump tetap keras, presiden berikutnya bisa mencoba memulihkan peran Washington sebagai penjamin tatanan dunia, namun rintangannya akan berat.
"Apa yang terjadi saat ini belum melewati titik tanpa Kembali. Tapi seberapa besar kerusakan yang sudah terjadi terhadap hubungan kita dengan teman-teman, dan seberapa besar keuntungan yang diraih oleh musuh-musuh kita, mungkin tidak bisa dihitung." kata Miller, yang kini menjadi peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace di Washington.

