OJK Institute Ungkapkan Empat Isu Strategis Terkait Keamanan Siber
JAKARTA, investortrust.id - Deputi Komisioner Sekaligus Kepala OJK Institute Anung Herlianto menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia di tengah pesatnya transformasi digital.da Ada empat isu strategis yang harus diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan terkait keamanan siber.
Dai menekankan, era digital yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan menjadi sebuah keniscayaan, namun juga membawa risiko serius dalam bentuk ancaman siber yang semakin kompleks dan sulit ditanggulangi.
“Transformasi digital tidak hanya mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi, tapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Namun, di balik berbagai kemudahan dan peluang yang ditawarkan, era digital juga menghadirkan tantangan serius berupa ancaman siber yang terus dan kiatn kompleks,” kata Anung Herlianto dalam sebuah webinar, Kamis (5/6/2025).
Menurut Anung, ada empat isu strategis yang harus diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan. Pertama, kesenjangan talenta di bidang keamanan siber yang menjadi tantangan global. Kedua, meningkatnya kompleksitas infrastruktur akibat adopsi cloud computing, internet of things (IoT), dan sistem hybrid.
Ketiga, perkembangan regulasi yang belum sejalan dengan laju inovasi teknologi. Dan terakhir, rendahnya kesadaran pengguna yang masih menjadi titik lemah utama risiko keamanan siber.
“Sehingga upaya edukasi dan peningkatan literasi digital menjadi krusial untuk mencegah serangan phishing dan social engineering. Hacker selalu menyasar network yang paling lemah dalam ekosistem keuangan, yaitu nasabahnya,” ucap Anung.
Baca Juga
Kaspersky Ingatkan Serangan Siber Berkedok DeepSeek Abal-abal
Dalam menghadapi dinamika ini, ia menekankan pentingnya inovasi dan kolaborasi lintas sektor sebagai fondasi utama ketahanan siber nasional. Anung menyebut, berbagai pendekatan baru seperti zero trust architecture, micro segmentation, serta otomasi pusat operasi keamanan (SOC) akan menjadi fokus utama di tahun 2025 ini.
“Keberhasilan strategi ini bergantung pada regulasi responsif dan SDM yang adaptif terhadap ancaman siber,” katanya.
Mengutip data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Anung menyebut bahwa sepanjang 2024 tercatat lebih dari 2,4 jut aktivitas advanced persistent threat (APT), lebih dari 514.000 aktivitas ransomware, dan lebih dari 26 juta aktivitas phishing. Di lain sisi, peningkatan signifikan juga terjadi dalam penyalahgunaan teknologi deepfake untuk memanipulasi informasi dan penipuan daring.
“Sejak 2019 jumlah insiden terkait deepfake mengalami lonjakan hingga 550% dan diperkirakan akan mencapai 8 juta kasus pada tahun 2025 ini. Teknologi ini kerap disalahgunakan untuk manipulasi informasi dan penipuan digital berskala besar,” katanya.
Selain itu, lebih dari 40% serangan siber kini melibatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), yang membuatnya menjadi lebih canggih dan sulit untuk diprediksi maupun dicegah.
Baca Juga

