Tekanan Industri Fintech Lending, Antara Inovasi dan Ancaman Krisis
JAKARTA, investortrust.id — Dalam beberapa tahun terakhir, industri financial technology (Fintech) peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (Pindar) hadir sebagai angin segar di tengah keterbatasan akses keuangan masyarakat terhadap lembaga keuangan konvensional. Dengan memanfaatkan teknologi digital, perusahaan-perusahaan Fintech lending atau Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) mampu menjangkau segmen masyarakat yang selama ini sulit dilayani oleh perbankan, mulai dari pelaku UMKM hingga individu tanpa riwayat kredit formal.
Namun, di balik pertumbuhan tersebut, industri ini kini menghadapi tekanan yang tidak ringan. Di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi digital, justru banyak pelaku Pindar legal mulai terseok menghadapi realitas yang tidak mudah. Tantangan datang dari berbagai arah, mulai dari tekanan modal, iklim pendanaan global yang lesu akibat fenomena tech winter, hingga regulasi yang semakin ketat pasca munculnya sejumlah kasus pelanggaran di industri ini.
Kondisi itu nampak dalam kurun waktu tertentu, di mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan telah mencabut izin tujuh penyelenggara resmi, sebagian karena tidak mampu memenuhi syarat permodalan dan kepatuhan.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman menuturkan, pencabutan izin dilakukan karena dua alasan utama yakni pengembalian izin usaha secara sukarela oleh penyelenggara. Lalu karena sanksi administratif akibat pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
"Dominasi alasan pencabutan berasal dari aspek kepatuhan dan tata kelola perusahaan, bukan semata-mata karena kinerja keuangan," ujarnya menjawab pertanyaan Investortrust, Rabu (4/6/2026).
Baca Juga
Meski Ekonomi Melambat di Kuartal I 2025, OJK Optimistis Industri Fintech Lending Tetap Tumbuh
Terbaru, PT Ringan Teknologi Indonesia mengembalikan izin usaha sebagai Penyelenggara LPBBTI ke OJK. Penyelenggara Pindar ini memilih menutup perusahaan karena rugi yang terus membengkak.
Sebelumnya, terdapat beberapa Pindar yang telah menyatakan menyerah ke OJK. Misalnya, PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala) dan Jembatan Emas. Diketahui, Pindar Jembatan Emas mengajukan permohonan pengembalian izin usaha sebagai Penyelenggara LPBBTI karena belum dapat mengimplementasikan ketentuan permodalan terkait ekuitas minimum dan pemenuhan jumlah direksi.
Sementara Dhanapala mengajukan permohonan pengembalian izin usaha sebagai Penyelenggara LPBBTI sebagai langkah strategis pemegang saham untuk melakukan sentralisasi kegiatan usaha LPBBTI pada satu entitas. Pasalnya, saat ini grup pemegang saham dari PT Semangat Gotong Royong memiliki dua entitas yang menjalankan kegiatan usaha LPBBTI.
OJK pun kata Agusman mencatat, saat ini sebanyak 15 peserta fintech p2p lending dari 96 yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp 7,5 miliar. Dari 15 penyelenggara Pindar tersebut, empat penyelenggara sedang dalam proses analisis atas permohonan peningkatan modal disetor.
Selain itu, belum terdapat penyelenggara Pindar yang mengajukan pengembalian izin usaha karena tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum maupun mengajukan izin untuk merger atau akuisisi.
Terkait dengan pemenuhan ekuitas minimum Rp 12,5 miliar yang akan mulai berlaku efektif pada 4 Juli 2025, OJK telah melakukan beberapa supervisiory action antara lain:
a) Menyampaikan surat kepada seluruh Penyelenggara Pindar untuk dapat memenuhi dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar sebelum tanggal 4 Juli 2025.
b) Meminta action plan dan timeline pemenuhan ekuitas minimum bagi penyelenggara pindar yang ekuitasnya masih di bawah Rp 12,5 miliar.
c) Melakukan pemantauan secara berkala terhadap pelaksanaan action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor lokal atau asing yang kredibel.
Baca Juga
“OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud, berupa injeksi modal dari pemegang saham maupun dari strategic investor lokal maupun asing yang kredibel, termasuk pengembalian izin usaha,” kata Agusman.
Moratorium
Di sisi lain, OJK menegaskan bahwa hingga kini moratorium pendirian Fintech baru masih berlaku dan belum dicabut. Lembaga ini masih melakukan pendalaman menyeluruh terhadap kesiapan infrastruktur dan kondisi industri sebagai syarat utama sebelum membuka kembali proses perizinan baru. Diketahui, hampir lima tahun berjalan sejak pemberian izin pelaksana Pindar dibekukan 2020 lalu.
“Fokus kami saat ini adalah memperkuat penyelenggara yang sudah ada, mendorong pembiayaan ke sektor produktif, serta meningkatkan permodalan pelaku industri,” tambah Agusman.
Meski demikian, OJK tetap optimistis terhadap prospek industri ini di tengah perlambatan ekonomi dan juga berbagai tantangan. Per April 2025, outstanding pembiayaan melalui LPBBTI tercatat mencapai Rp 80,94 triliun atau tumbuh 29,01% secara tahunan (year on year/YoY). Angka ini meningkat dari pertumbuhan 28,72% pada Maret 2025.
Proyeksi positif ini sejalan dengan arah kebijakan dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan LPBBTI 2023–2028, yang menekankan pada perluasan inklusi keuangan, pendalaman pasar pembiayaan digital, dan penguatan perlindungan konsumen.
”(dengan, red) Fleksibilitas, digitalisasi, dan fokus pada segmen underserved membuat pindar tetap berpotensi tumbuh positif pada kuartal mendatang, khususnya dalam pembiayaan jangka pendek dan UMKM (usaha mikro kecil dan menengah),” ujarnya.
OJK, sambung Agusman juga mencermati dan menghormati jalannya proses hukum yang tengah dilakukan oleh KPPU terkait dugaan pelanggaran kartel suku bunga pada industri pindar. Selain itu, OJK terus melakukan langkah-langkah pengawasan, antara lain penegakan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta evaluasi berkala atas penetapan batas manfaat ekonomi pindar. “Dengan demikian, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pindar dapat terjaga dengan baik,” kata ia.
Krisis Pendanaan
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, gelombang penutupan perusahaan Fintech P2P lending yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir tak lepas dari lemahnya permodalan dan krisis pendanaan di sektor teknologi digital.
"Modal merupakan aspek vital dalam bisnis, apalagi di sektor keuangan yang berhadapan langsung dengan dana masyarakat. Jika terjadi gagal bayar, modal adalah penyangga utama. Sayangnya, masih ada pelaku pinjol yang tidak memenuhi syarat kecukupan modal,” ujarnya kepada Investortrust, Rabu (5/6/2025).
Ia menambahkan bahwa saat ini industri digital, termasuk perusahaan Pindar, tengah menghadapi kondisi tech winter, di mana arus pendanaan dari investor sangat terbatas. Situasi ini diperparah oleh sejumlah kasus hukum yang menjerat beberapa platform pindar, yang membuat kepercayaan investor semakin menurun.
"Ketika perusahaan tidak mendapatkan pendanaan, maka dampaknya adalah penutupan operasional. Sudah banyak platform pinjaman daring yang tumbang akibat hal ini," ucap Nailul.
Terkait belum dicabutnya moratorium izin baru oleh OJK, ia menyatakan hal itu cukup beralasan. Ia menilai bahwa sektor pinjaman produktif masih memiliki tingkat risiko yang tinggi, meski bunganya lebih rendah dibanding pinjaman konsumtif. Selain itu, pemulihan dunia usaha belum sepenuhnya stabil, sehingga lender pun cenderung lebih berhati-hati.
"Kalau kondisi belum pulih, lalu izin diberikan sembarangan, maka risiko gagal bayar akan tidak terkendali. Itu sebabnya saya memahami kehati-hatian OJK," ujar Nailul.
Meski begitu, Nailul menilai ada sejumlah platform pinjaman produktif yang sebenarnya sudah siap masuk industri secara resmi, namun terhambat oleh moratorium. Jika dibiarkan terlalu lama, perusahaan yang sudah beroperasi namun belum berizin akan dirugikan secara materiil maupun nonmateriil.
"Moratorium bisa saja dibuka kembali, tapi tentu dengan syarat yang ketat. Salah satu yang penting adalah sistem credit scoring yang harus memadai untuk memitigasi risiko gagal bayar," pungkasnya.

