Investasi Emas Belum Jadi ‘Anak Emas’ di Indonesia
JAKARTA, investortrust.id – Instrumen investasi dalam bentuk aset emas dinilai belum menjadi ‘anak emas’ di Indonesia. Pasalnya, investasi berupa tabungan emas masih dikenakan pajak progresif yang bisa mencapai 35% dari keuntungan pertumbuhan harga emas.
Sementara itu, instrumen investasi lain, seperti saham dan kripto telah diberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,1% dari nilai transaksi jual beli aset kripto.
Direktur Investor Relations Hartadinata Abadi Thendra Chrisnanda menyayangkan, pendirian bank emas (bullion bank) tidak dilengkapi dengan regulasi perpajakan yang mendukung.
“Ada bottleneck, bullion bank diciptakan untuk menjadi sumber penyerapan emas-emas di domestik tetapi secara regulasi tidak didukung. Contoh, kalau beli emas fisik sekarang tidak bayar PPN, tetapi kedudukan emas dibandingkan investasi lain itu pajak tidak final,” ujar Thendra saat media visit ke kantor Investortrust di The Convergence Indonesia, Jakarta, baru-baru ini.
Keuntungan berinvestasi emas terkena pajak progresif mulai dari 5% sampai 35% sesuai Pasal 17 Undang-Undang PPh. Hasil dari investasi emas diperhitungkan bersama sebagai penghasilan lain dari seseorang maupun perusahaan sebagai wajib pajak. Pasalnya, keuntungan penjualan emas tidak dipandang sebagai penghasilan yang diperlakukan khusus.
“Jadi bayangkan, masyarakat disarankan menyimpan emas di bullion bank tetapi tidak disiapkan wadahnya. Ketika beli emas, contoh satu tahun terakhir harganya di Indonesia naik lebih dari 40% kemudian terkena PPh progresif, pasti nggak mau kan,” ujar Thendra.
Baca Juga
Harga Emas Antam Naik Lagi Jadi Rp 1,923 Juta, Trump dan Perang Ukraina Jadi Pemicunya
Sedangkan berdasarkan undang-undang, transaksi jual beli aset kripto dianggap sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh) final dengan tarif 0,1%. Begitu pula dengan instrumen investasi saham yang dikenakan PPh final sebesar 0,1% dari nilai bruto transaksi penjualan saham, berdasarkan PPh Pasal 4 Ayat 2.
“Itulah kenapa saham sekarang berkembang, obligasi, bahkan kripto juga diberikan pajak final. Tetapi emas yang sudah jadi bagian culture Indonesia, tidak dikenakan pajak final. Bagaimana orang mau percaya, yang terjadi orang takut (rugi),” menurut Thendra.
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh, wajib pajak orang pribadi dalam negeri akan dikenakan tarif pajak 5% jika jumlah penghasilan kumulatif bersama penghasilan lainnya mencapai Rp 50 juta per tahun. Kemudian dikenakan tarif pajak 15% untuk lapisan penghasilan kena pajak (PKP) di atas Rp 50 juta sampai Rp 250 juta.
Untuk tarif pajak yang lebih tinggi, yakni 25% akan dikenakan pada wajib pajak orang pribadi yang memiliki PKP di atas Rp 250 juta sampai Rp 500 juta per tahun. Terakhir tarif terbesar 35% dikenakan pada orang dengan PKP di atas Rp 500 juta
Di sisi lain, Direktur Utama Hartadinata Abadi Sandra Sunanto memandang bahwa pengembangan bank emas di Indonesia terbilang terlambat dibandingkan Singapura, yang sudah lebih dulu agresif mengembangkan ekosistem perdagangan emas.
“Sebetulnya bullion bank kan ingin mengajak masyarakat menyimpan emas ke bank. Salahnya tidak sampaikan bahwa setelah disimpan, ternyata tidak dikenakan pajak final. Investor akan mulai merasa, apa manfaatnya, apa benefit,” ujar Sandra.
Baca Juga
Gali Emas Hitam Tanpa Rusak Bumi! PTBA Ungkap Rahasia 'Good Mining Practice'
Kurangnya dukungan regulasi, terutama dari pengenaan pajak, dikhawatirkan membuat investor emas lebih memilih menyimpan emas fisik batangan secara konvensional di rumah masing-masing, bukan di bank
“Kalau mau pemerintah buat masyarakat nyaman masuk investasi dengan cara menabung emas di bank, buat saja pajak final. Pemerintah tidak rugi kok, daripada masyarakat simpan di brankas tetapi tidak dilaporkan dalam SPT,” sambung Thendra.
Direksi Hartadinata Abadi pun berharap, pemerintah membuat kebijakan yang adil bagi sesama instrumen investasi agar minat investor tidak timpang hanya karena potensi berkurangnya keuntungan akibat potongan pajak.
“Playing field harus sama, kalau tidak ya susah. Kripto diberikan pajak final padahal asetnya ditaruh di luar dengan issuer bukan orang Indonesia dan mencatatkan capital outflow. Sedangkan emas, punya bank-nya, tambangnya tetapi tidak diberikan (pph) final,” pungkasnya.

