Ombudsman Temukan Fakta Menarik Terkait Pinjol, Apa Itu?
JAKARTA, investortrust.id - Ombudsman menyatakan bahwa sebanyak 1.081 orang tercatat menjadi korban pinjaman online (pinjol) ilegal sepanjang Januari hingga 31 Maret 2025. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan perempuan, yakni 657 orang atau sekitar 61%. Sementara, 424 korban lainnya adalah laki-laki, setara dengan 39% dari total kasus.
Sehubungan dengan hal tersebut, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkapkan, hasil pemeriksaan Ombudsman RI terhadap permasalahan yang serupa menemukan fakta menarik bahwa antar pinjol tidak dapat mengetahui apakah calon nasabah sudah terdaftar di pinjol lain atau tidak.
"Hal ini menjadi potensi besar terjadinya fenomena gali lubang tutup lubang bagi para korban yang sudah terlanjur terjebak dalam gagal bayar," ujar Yeka dalam acara Diskusi Publik dengan tema “Pencegahan Maladministrasi dan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Sektor Perbankan" di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Baca Juga
Permintaan Pembiayaan Meningkat Jelang Lebaran, AFPI Imbau Masyarakat Hindari Rayuan Pinjol Ilegal
Selain itu, kata Yeka, pinjol juga tidak melakukan Know Your Customer (KYC) dengan baik. Di mana, pinjol tidak menganalisis dan memvalidasi kemampuan bayar para calon nasabah.
"Berkaca pada permasalahan tersebut, perlindungan hukum terhadap korban pinjol sangat penting karena maraknya praktik ilegal dan penyalahgunaan data pribadi oleh sejumlah penyedia pinjol, terutama yang tidak terdaftar atau tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan," ungkap Yeka.
Baca Juga
Dalam Dua Bulan, OJK Hentikan 587 Entitas Pinjol Ilegal dan 209 Penawaran Investasi Ilegal
Lebih lanjut, Yeka pun membeberkan beberapa alasan pentingnya perlindungan hukum bagi para korban. Di antaranya, menjamin hak asasi manusia, memberikan kepastian hukum bagi korban, membangun ekosistem keuangan digital yang sehat, dan memberikan efek jera bagi pelaku.
"Bapak dan ibu yang kami hormati, perlindungan hukum bagi korban pinjol bukan hanya soal keadilan, tetapi juga upaya negara melindungi warganya dari kejahatan ekonomi digital yang semakin kompleks. Oleh karena itu, melalui acara diskusi publik ini, kami berharap dapat menjadi alat gedor bagi pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola layanan publik khususnya di sektor perbankan," jelas Yeka.

