APNI Tegaskan 4 Perusahaan yang IUP-nya Dicabut di Raja Ampat Bukan Anggotanya
JAKARTA, investortrust.id - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menegaskan bahwa empat perusahaan yang izin usaha pertambangan (IUP)-nya dicabut di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, bukanlah anggota mereka.
Diketahui, terdapat lima perusahaan yang memiliki izin pertambangan nikel di Raja Ampat, yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Gag Nikel. Namun, kini hanya PT Gag Nikel yang tetap diperbolehkan melakukan kegiatan pertambangan di Raja Ampat.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyebutkan, tidak satupun dari perusahaan yang IUP-nya dicabut tersebut merupakan anggota resmi APNI. Pihaknya masih melakukan verifikasi terhadap kelengkapan legalitas empat perusahaan tersebut.
“Yang empat itu memang bukan anggota kami. Kami masih cek kelengkapan dokumen-dokumennya. Tapi yang pasti, PT Gag bukan bagian dari mereka dan sudah terverifikasi sejak lama sebagai anggota kami,” jelas Meidy.
Meidy memaparkan bahwa PT Gag Nikel telah memenuhi seluruh persyaratan legal dan teknis sebagai perusahaan tambang yang menjalankan praktik ramah lingkungan di Pulau Gag, Raja Ampat.
Baca Juga
4 IUP Raja Ampat Dicabut, Respons Cepat Presiden Prabowo dan Bahlil Dapat Apresiasi
Menurut Meidy, PT Gag merupakan anggota APNI yang telah mendapatkan berbagai pengakuan resmi, mulai dari Good Mining Practice hingga Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami sudah verifikasi. PT Gag jauh dari kawasan konservasi dan sudah menjalankan kaidah-kaidah pertambangan sesuai regulasi,” kata dia.
Meidy juga menyayangkan narasi yang berkembang di media sosial, termasuk video dan foto yang memperlihatkan seolah-olah terjadi kerusakan parah di Raja Ampat. Ia menilai banyak informasi visual yang tidak akurat, bahkan diduga hasil manipulasi kecerdasan buatan (AI).
“Sekarang ini sulit membedakan mana yang asli, mana yang manipulasi. Faktanya, tidak seperti yang digambarkan di media sosial,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal insiden aktivis lingkungan yang masuk ke forum konferensi internasional dan berteriak menuding kerusakan lingkungan. Berdasarkan klarifikasi APNI, tokoh yang mengaku warga Papua tersebut ternyata bukan berasal dari Papua.
“Yang berteriak itu ternyata orang Sumatera Utara. Ini bentuk pembelokan isu,” tegasnya.
Dia menambahkan, pencabutan IUP seharusnya menjadi momentum perbaikan koordinasi antar lembaga pemerintah. Menurutnya, banyak perusahaan sudah memiliki IUP dari Kementerian ESDM namun terkendala perizinan lain seperti Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan yang kuotanya terbatas.
“Kadang provinsi dan pusat juga tidak nyambung. Akhirnya pengusaha dirugikan, negara pun bisa kehilangan potensi pendapatan,” ujar Meidy.
APNI berharap pemerintah dapat menciptakan ekosistem regulasi yang sinkron antar instansi dan menjamin kepastian berusaha, tanpa mengabaikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.

