Bahlil Tuding IMF Jadi Biang Kerok Turunnya Lifting Minyak Nasional
JAKARTA, investortrust.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut International Monetary Fund (IMF) sebagai dalang utama di balik penurunan lifting minyak nasional yang terjadi selama bertahun-tahun.
Dia menerangkan, pada tahun 1997 lifting minyak Indonesia mampu menembus angka 1,5 juta barrel oil per day (BOPD). Bahkan, mampu mengekspor minyak sekitar 1 juta BOPD yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Kendati demikian, pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi. Bahlil menyebutkan, ketika itu IMF memberikan rekomendasi-rekomendasi yang salah satu di antaranya adalah perubahan sistem undang-undang minyak dan gas bumi (migas).
Baca Juga
Bahlil Curiga Ada Konspirasi di Balik Penurunan Lifting Minyak Nasional
“Apa yang terjadi? Lifting kita mulai dari situ turun terus. Sampai kemudian pada 2024 lifting kita itu hanya 580.000 barrel per day. Ini adalah hasil analisa ‘dokter’ yang namanya IMF pada saat krisis tahun 1998,” kata Bahlil dalam acara Human Capitak Summit 2025 di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Bahlil mengatakan, kondisi Indonesia saat ini adalah kebalikan dari tahun 1997. Sebab, dengan konsumsi minyak nasional mencapai 1,6 juta BOPD, dan lifting yang hanya 580.000 BOPD, maka Indonesia perlu impor 1 juta BOPD.
“Kita boleh percaya asing, karena mereka adalah negara hebat. Tapi di balik kepercayaan yang kita buat, kita juga harus ikhtiar. Tidak semua obat yang diberikan itu untuk kebaikan kesembuhan daripada penyakit kita. Dan ini sudah terjadi kita rasakan sekarang,” ucap dia.
Menurutnya, pengalaman buruk ini harus menjadi introspeksi kesadaran kolektif. Adapun untuk mengurangi impor minyak tersebut, Bahlil menekankan untuk menggenjot lifting minyak nasional.
Bahlil optimistis target lifting minyak nasional dalam APBN tahun 2025 yang sebesar 605.000 BOPD dapat terwujud. Pasalnya, saat ini realisasi lifting minyak sudah berada di angka 580.000 barel atau 96% dari target.
"Target lifting kita kan 605.000 barel, dan sekarang sudah 580.000 barel. Secara realisasi di kuartal pertama sudah 96%," ujar mantan Menteri Investasi tersebut.

