ATSI Kritisi Skema Lelang Frekuensi Kemenkomdigi, Mengapa?
JAKARTA, investortrust.id - Rencana Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) untuk melelang spektrum frekuensi di tahun 2025 menuai sorotan tajam dari pelaku industri. Wakil Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), Merza Fachys, menilai mekanisme lelang kurang relevan dengan kondisi industri saat ini.
“Kenapa harus lelang? Apa perlu lelang hanya untuk bertiga?” ujar Merza saat diwawancarai investortrust.id beberapa waktu lalu.
Mantan Bos Smartfren itu menekankan bahwa pendekatan lelang berbasis harga tertinggi justru malah menyamakan pemerintah dengan penjual yang hanya mengejar keuntungan finansial.
“Sekarang gini loh. Lelang, yang dilelang apa? Harga. Kenapa? Akhirnya pemerintah hanya, istilahnya, sebagai penjual kalau gitu. Cari harga termahal,” sambungnya.
Menurut Merza, sudah waktunya pemerintah meninggalkan model lelang dan mengadopsi pendekatan distribusi frekuensi yang lebih strategis. Ia merujuk pada praktik di negara maju yang menetapkan pembagian spektrum disertai kewajiban pembangunan yang spesifik.
Mantan Bos Smartfren itu menekankan bahwa pendekatan lelang berbasis harga tertinggi justru malah menyamakan pemerintah dengan penjual yang hanya mengejar keuntungan finansial.
“Sekarang gini loh. Lelang, yang dilelang apa? Harga. Kenapa? Akhirnya pemerintah hanya, istilahnya, sebagai penjual kalau gitu. Cari harga termahal,” sambungnya.
Menurut Merza, sudah waktunya pemerintah meninggalkan model lelang dan mengadopsi pendekatan distribusi frekuensi yang lebih strategis. Ia merujuk pada praktik di negara maju yang menetapkan pembagian spektrum disertai kewajiban pembangunan yang spesifik.
“Ini sekarang konsepsi apa yang mau dipakai. Lanskap digital ini udah beda sama zaman dahulu. Apa model kayak negara yang gede itu? Sudah bagi (frekuensi), harganya sekian. Kewajibannya ini: A, B, C, D. Tidak sama rata, tapi semua punya ikatan kewajiban,” lanjutnya.
Sebagai perwakilan ATSI, ia juga memperingatkan bahwa sistem lelang berisiko memperlebar kesenjangan antara operator besar dan kecil. “Yang kuat makin kuat. Itulah lelang,” tegasnya.
Sementara itu, Kemenkomdigi tetap bersikukuh bahwa lelang adalah metode paling transparan dan objektif dalam pendistribusian sumber daya terbatas seperti frekuensi.
“Lelang akan memastikan bahwa spektrum dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengoptimalkannya, sekaligus memberikan nilai tambah bagi negara,” ujar Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kemenkomdigi, Denny Setiawan, dalam keterangan resmi awal Mei lalu.
Kemenkomdigi menargetkan proses lelang untuk pita 700 MHz, 2.300 MHz, dan 26 GHz dapat berlangsung pada semester II 2025, sebagai bagian dari upaya memperluas jaringan 5G nasional.
Secara terpisah, pengamat dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai pemerintah perlu mempertimbangkan skema hibrida yang menggabungkan pendekatan lelang dengan penugasan bersyarat.
“Kalau hanya lelang, akan berujung pada persaingan harga dan beban biaya yang tinggi bagi operator. Akibatnya bisa ke konsumen. Pemerintah bisa adopsi model penugasan dengan komitmen pembangunan, misalnya coverage ke daerah 3T,” kata Heru beberapa waktu lalu.
Pakar telekomunikasi itu menyebut bahwa model ini memungkinkan distribusi spektrum yang lebih adil dan berorientasi pada pemerataan layanan, bukan semata-mata penerimaan negara.
Sekadar informasi, lelang frekuensi menjadi salah satu agenda strategis dalam roadmap transformasi digital Indonesia. Namun, dengan jumlah operator utama yang terbatas pasca-merger beberapa tahun terakhir, pemerintah diharapkan mempertimbangkan kembali apakah sistem lelang murni masih relevan dalam membangun ekosistem 5G yang inklusif dan berkelanjutan. (C-13)
“Kalau hanya lelang, akan berujung pada persaingan harga dan beban biaya yang tinggi bagi operator. Akibatnya bisa ke konsumen. Pemerintah bisa adopsi model penugasan dengan komitmen pembangunan, misalnya coverage ke daerah 3T,” kata Heru beberapa waktu lalu.
Pakar telekomunikasi itu menyebut bahwa model ini memungkinkan distribusi spektrum yang lebih adil dan berorientasi pada pemerataan layanan, bukan semata-mata penerimaan negara.
Sekadar informasi, lelang frekuensi menjadi salah satu agenda strategis dalam roadmap transformasi digital Indonesia. Namun, dengan jumlah operator utama yang terbatas pasca-merger beberapa tahun terakhir, pemerintah diharapkan mempertimbangkan kembali apakah sistem lelang murni masih relevan dalam membangun ekosistem 5G yang inklusif dan berkelanjutan. (C-13)

