ATSI Desak Revisi UU Telekomunikasi: OTT Bebas, Operator Terbebani
JAKARTA, investortrust.id - Maraknya penipuan melalui aplikasi over-the-top (OTT) seperti WhatsApp, Telegram, hingga layanan pesan instan lainnya, kembali menimbulkan pertanyaan publik soal regulasi. Sayangnya, operator seluler justru sering menjadi pihak yang disalahkan terlebih dahulu.
Wakil Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), Merza Fachys, menyebut kondisi ini sebagai dampak dari kerangka regulasi yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Ia menyoroti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang dinilai sudah tidak mampu mengakomodasi perubahan ekosistem digital saat ini.
“Ketika kemarin banyak sekali masalah-masalah penipuan terjadi melalui layanan telekomunikasi, pasti yang dituding pertama adalah operator telekomunikasi,” kata Merza saat ditemui di IDF 2025 pekan lalu.
Menurutnya, UU Telekomunikasi yang masih berpedoman pada definisi klasik, yakni penyampaian suara dari satu titik ke titik lain, telah menciptakan ketimpangan. Banyak layanan digital yang secara fungsi mirip dengan operator, namun tidak dikenai kewajiban atau pengawasan serupa.
“Saya kasih contoh, ini mungkin relevan untuk kita diskusikan. Apakah layanan telepon melalui aplikasi dapat didefinisikan sebagai layanan telekomunikasi? Karena definisi telekomunikasi kalau menurut undang-undang, apapun menyampaikan suara dari A ke B, berarti telekomunikasi,” ujarnya.
“Nyatanya enggak, mereka bebas, bukan layanan telekomunikasi. Karena kalau begitu tuh dinyatakan layanan telekomunikasi, ada tuntutan lainnya. Harus ada QoS (Quality of Service), harus ini, itu. Ada aturan-aturan yang harus dipenuhi. Enggak boleh ada drop call, enggak boleh ini, itu,” lanjut Merza.
Dorong Kaji UU Telekomunikasi
ATSI menilai pentingnya segera dilakukan revisi terhadap UU Telekomunikasi agar regulasi nasional tidak tertinggal dari dinamika layanan digital. Merza mengungkapkan bahwa usulan untuk merevisi UU ini sebenarnya sudah disampaikan sejak lama, bahkan telah ada draft yang disiapkan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
“Sebetulnya, kalau usulan untuk mereview undang-undang telekomunikasi kan udah lama. Bahkan dari pihak Mastel sudah pernah mengajukan sebuah draft,” ujarnya.
Mantan Bos Smartfren itu menekankan bahwa perkembangan industri digital telah memperluas domain telekomunikasi secara signifikan. Saat ini, bukan hanya opsel, tetapi juga penyelenggara jasa digital turut membangun dan mengelola infrastruktur sendiri.
“Secara konseptual, landscape yang namanya telekomunikasi menuju digital ini banyak sekali hal yang harus dipenuhi. Sehingga aturan domain industri ini pun sudah luas sekali, berbeda. Sekarang jaringan saja pelan-pelan kan berubah. Dulu hanya penyelenggara jaringan, sekarang penyelenggara jasa pun ada yang bangun jaringan,” jelasnya.
Ketimpangan aturan ini tidak hanya merugikan operator, tetapi juga membuka celah keamanan bagi konsumen. Layanan OTT seperti WhatsApp, meski berperan sebagai penghubung komunikasi, tidak dibebani kewajiban terkait keamanan jaringan, kualitas layanan, ataupun identifikasi pelanggan sebagaimana yang harus dipenuhi opsel.
Pakar hukum telekomunikasi dari Universitas Indonesia, Prof. Henri Subiakto, dalam diskusi terpisah mengatakan bahwa pembaruan UU sangat krusial untuk menciptakan 'level playing field' yang adil bagi semua pemain, baik yang berbasis jaringan maupun aplikasi.
“Tanpa revisi undang-undang, akan selalu ada asimetri regulasi antara operator dan OTT. Hal ini tidak sehat bagi keberlangsungan ekosistem digital Indonesia,” ujar Henri dikutip dari laman Mastel, Senin (19/5/2025).
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi terkait desakan tersebut. Namun dalam beberapa forum, pemerintah telah menyatakan komitmen untuk menyusun regulasi yang adaptif terhadap konvergensi teknologi dan perlindungan konsumen digital. (C-13)
ATSI menilai pentingnya segera dilakukan revisi terhadap UU Telekomunikasi agar regulasi nasional tidak tertinggal dari dinamika layanan digital. Merza mengungkapkan bahwa usulan untuk merevisi UU ini sebenarnya sudah disampaikan sejak lama, bahkan telah ada draft yang disiapkan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
“Sebetulnya, kalau usulan untuk mereview undang-undang telekomunikasi kan udah lama. Bahkan dari pihak Mastel sudah pernah mengajukan sebuah draft,” ujarnya.
Mantan Bos Smartfren itu menekankan bahwa perkembangan industri digital telah memperluas domain telekomunikasi secara signifikan. Saat ini, bukan hanya opsel, tetapi juga penyelenggara jasa digital turut membangun dan mengelola infrastruktur sendiri.
“Secara konseptual, landscape yang namanya telekomunikasi menuju digital ini banyak sekali hal yang harus dipenuhi. Sehingga aturan domain industri ini pun sudah luas sekali, berbeda. Sekarang jaringan saja pelan-pelan kan berubah. Dulu hanya penyelenggara jaringan, sekarang penyelenggara jasa pun ada yang bangun jaringan,” jelasnya.
Ketimpangan aturan ini tidak hanya merugikan operator, tetapi juga membuka celah keamanan bagi konsumen. Layanan OTT seperti WhatsApp, meski berperan sebagai penghubung komunikasi, tidak dibebani kewajiban terkait keamanan jaringan, kualitas layanan, ataupun identifikasi pelanggan sebagaimana yang harus dipenuhi opsel.
Pakar hukum telekomunikasi dari Universitas Indonesia, Prof. Henri Subiakto, dalam diskusi terpisah mengatakan bahwa pembaruan UU sangat krusial untuk menciptakan 'level playing field' yang adil bagi semua pemain, baik yang berbasis jaringan maupun aplikasi.
“Tanpa revisi undang-undang, akan selalu ada asimetri regulasi antara operator dan OTT. Hal ini tidak sehat bagi keberlangsungan ekosistem digital Indonesia,” ujar Henri dikutip dari laman Mastel, Senin (19/5/2025).
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi terkait desakan tersebut. Namun dalam beberapa forum, pemerintah telah menyatakan komitmen untuk menyusun regulasi yang adaptif terhadap konvergensi teknologi dan perlindungan konsumen digital. (C-13)

