Indonesia Negara dengan Hari Libur Terbanyak di ASEAN, Apa Kabar Produktivitas?
JAKARTA, Investortrust.id—Dengan 27 hari libur, 17 hari libur nasional dan 10 hari cuti bersama, Indonesia menempati peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan libur terbanyak. Sedang di dunia, Nepal adalah negara dengan hari libur nasional terbanyak, yakni sebanyak 35 hari.
Peringkat di dunia hanya membandingkan hari libur nasional, tidak termasuk cuti bersama. Sedangkan peringkat libur di ASEAN memperhitungkan juga cuti bersama. Singapura, satu-satunya negara maju di ASEAN, hanya 11 hari libur.
“Indonesia terlalu banyak libur, ya. Kegiatan bisnis sangat terganggu,” kata seorang pengusaha yang tak mau disebutkan namanya di Jakarta, Sabtu (31/05/2025). Keluhan yang sama disampaikan oleh investor asing dari Jepang dan Tiongkok. Libur nasional dengan cuti panjang di Indonesia tidak diimbangi oleh produktivitas.
Sekadar catatan saja, berdasar data International Labour Organization (ILO) tahun 2023, Indonesia mencatatkan rata-rata produktivitas pekerja sebesar US$ 23.3/jam kerja. Artinya bahwa setiap satu jam kerja seorang pekerja menghasilkan output ekonomi senilai 23,3 dolar AS. Ini adalah ukuran dari produktivitas tenaga kerja, atau lebih tepatnya produktivitas per jam kerja, yang digunakan untuk menunjukkan seberapa efisien tenaga kerja menghasilkan barang dan jasa dalam suatu negara.
Produktivitas pekerja RI masih lebih rendah dibanding Malaysia di angka US$ 30,1/jam, bahkan jauh lebih rendah dari Singapura yang sebesar US$ 68,6/jam. Produktivitas ini menjadi indikator penting dalam melihat seberapa efektif sebuah negara dalam memanfaatkan waktu kerja.
Niat cuti bersama untuk menggerakkan ekonomi tidak terjadi karena masyarakat sedang didera penurunan daya beli. Kelas menengah, yang selama ini diharapkan belanja, sedang terpukul oleh penurunan daya beli. Sementara itu di sisi lain pemberian waktu libur terlalu banyak justru membuat produktivitas di sektor manufaktur menjadi menurun.
Saat ini para pekerja di Tanah Air tengah menikmati libur panjang hari Kenaikan Isa Almasih yang jatuh pada tanggal 29 Mei 2025. Pemerintah memberikan libur cuti bersama pada 30 Mei 2025, sehingga masyarakat bisa menikmati libur pada pekan ini selama empat hari sejak Kamis hingga Minggu.
Dua pekan sebelumnya masyarakat juga bisa menikmati satu hari libur cuti bersama pada 13 Mei 2025, sebagai bagian dari libur nasional peringatan Hari Raya Waisak.
Baca Juga
Tetap Bekerja di Libur Panjang, Prabowo Terima Utusan Khusus PM Inggris di Hambalang
Sementara itu pada pekan depan, para pekerja akan kembali menikmati libur panjang yang ditetapkan pemerintah sejak Jumat 6 Juni 2025, hingga Senin 9 Juni 2025 sebagai bagian dari perayaan Hari Raya Iduladha.

Sekadar informasi, dengan jumlah hari libur nasional sebanyak 17 hari, sejatinya Indonesia berada di luar peringkat 10 besar pemilik hari libur nasional terbanyak, dengan Nepal yang memberikan 35 hari libur nasional bagi masyarakatnya sebagai negara di peringkat pertama dalam Peringkat Global Hari Libur Nasional di tahun ini. Di bawahnya ada Myanmar yang memberikan 25 hari libur nasional, lalu Iran sebanyak 26 hari. Indonesia masih di bawah Malaysia yang memberikan libur nasional pada warganya sebanyak 18 hari.
Namun jika hari libur nasional di tambahkan dengan cuti bersama yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, maka Indonesia menjadi negara kedua pemberi libur terbanyak di bawah Nepal, dengan jumlah hari libur nasional plus cuti bersama sebanyak 27 hari.
Nah jika dihitung dengan cuti bersama, maka di kalangan negara-negara ASEAN, Indonesia menjadi pemuncak negara paling murah hati kepada para karyawan dari sisi pemberian waktu libur. Di bawahnya ada Kamboja dan Thailand yang memberikan hari libur sebanyak 22 hari, lalu Filipina selama 19 hari. Laos adalah negara di Asean yang memberikan waktu libur paling sedikit dalam tahun ini, hanya 7 hari saja.
Jumlah hari libur di Indonesia mencerminkan keberagaman budaya dan agama di negara ini, dengan pemerintah menetapkan hari libur untuk berbagai perayaan keagamaan dan nasional. Hal ini sempat disampaikan oleh Jusuf Kalla saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2014–2019.
Dalam perayaan Isra Miraj di Istana Negara pada Mei 2016, Jusuf Kalla menyatakan bahwa sebagian besar hari libur nasional di Indonesia adalah hari raya keagamaan, mencerminkan harmoni antaragama di Indonesia.
"Bagaimana kehidupan beragama dijalankan secara baik, di Indonesia ini ada 15 hari libur, yang libur nasional cuma 3 yaitu 1 Januari, 1 Mei dan 17 Agustus dan 12 lainnya hari raya agama," kata Wapres dalam sambutannya seperti dikutip Antara.
Peringkat global hanya mempertimbangkan hari libur nasional resmi dan tidak termasuk cuti bersama atau hari libur tambahan yang bersifat tidak tetap. Oleh karena itu, meskipun Indonesia memiliki total 27 hari libur (termasuk cuti bersama), peringkat globalnya tetap di bawah negara-negara yang memiliki lebih banyak hari libur nasional resmi.
Sementara sumber data libur nasional dan cuti negara-negara di dunia—termasuk negara ASEAN— berasal dari berbagai lembaga resmi dan platform internasional yang mengumpulkan serta memverifikasi kalender nasional masing-masing negara.
Cuti bersama (seperti di Indonesia) sebenarnya tidak umum diterapkan di banyak negara dan biasanya tidak tercatat di data resmi internasional. Hari libur yang umumnya dihitung secara global hanyalah hari libur nasional resmi (public holidays). Beberapa negara memiliki sistem libur fleksibel atau regional, yang tidak tercakup dalam statistik nasional (misalnya India dan Malaysia).
Peringkat Global Hari Libur Nasional (2025)
Peringkat liburan global hanya memperhitungkan liburan nasional, tidak termasuk cuti. Indonesia dengan 17 hari libur tahun 2025 berada di peringkat 11.
1. Nepal – 35 hari.
2. Iran – 26 hari.
3. Myanmar – 25 hari.
4. Sri Lanka – 25 hari.
5. Bangladesh – 22 hari.
6. India – 21 hari.
7. Kamboja – 21 hari.
8. Liechtenstein – 20 hari.
9. Lebanon – 19 hari.
10. Malaysia – 18 hari.
11. Indonesia – 17 hari.
12. Hongkong – 17 hari.
13. Jepang – 16 hari.
Mengomentari perihal Indonesia sebagai negara pemberi waktu libur terbanyak di ASEAN, Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pengamat Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta menyebut pemberian waktu libur yang cukup panjang bagi karyawan dipastikan membuat masyarakat gembira, dan industri pariwisata bersiap panen cuan. "Tapi harus diakui para ekonom, pelaku usaha, dan pemerhati kebijakan publik mengernyitkan dahi, apakah ini berarti kita sedang menabur benih bagi menurunnya produktivitas nasional?" kata Achmad kepada Investortrust.
Rasa cemas ini tak muncul tanpa sebab. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2023, produktivitas pekerja Indonesia tercatat sebesar US$23,3 per jam kerja. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai US$30,1 dan Singapura dengan angka mencengangkan US$68,6 per jam kerja. Fakta ini, ujarnya, mengindikasikan bahwa persoalan produktivitas kita bukan hanya soal jumlah jam kerja, tetapi lebih pada efektivitas dan struktur kerja itu sendiri.
"Bayangkan sebuah pabrik dengan mesin yang sering dimatikan karena libur panjang. Mesin itu memang tidak rusak, tapi untuk mencapai suhu optimal, ia butuh pemanasan ulang yang memakan waktu dan energi. Sama seperti otak dan tubuh pekerja yang butuh adaptasi kembali usai jeda panjang. Terlalu sering dimatikan dan dinyalakan bukan hanya mengurangi efisiensi, tapi juga meningkatkan biaya tersembunyi: adaptasi ulang, penurunan ritme kerja, dan ketidakefektifan koordinasi antar-unit.," tuturnya.
Namun demikian ia juga menyoroti, apakah solusi dari masalah ini adalah memangkas waktu libur? Baginya masalahnya bukan pada banyaknya libur, melainkan pada cara masyarakat mengelola kerja dan libur. "Sebab di negara-negara maju dengan produktivitas tinggi, pekerja justru memiliki waktu libur yang cukup—bahkan lebih dari kita. Yang membedakan adalah bagaimana mereka bekerja saat tidak libur," ujarnya.
Produktivitas kata Achmad, bukan sekadar berapa jam seseorang bekerja, tapi apa yang ia hasilkan selama jam itu. Di sinilah Indonesia tertinggal dan sering terjebak pada mentalitas kerja panjang, bukan kerja cerdas. Banyak kantor yang masih menghargai kehadiran fisik ketimbang hasil konkret. Banyak birokrasi yang lamban bukan karena kurang tenaga, tapi karena tidak ada insentif untuk mempercepat kerja. Bandingkan dengan Singapura, di mana sistem kerja sudah digital, terotomatisasi, dan berbasis kinerja.
Di Singapura, sambung Achmad, seorang pekerja mungkin hanya bekerja 8 jam sehari, tapi output-nya jauh melebihi pekerja Indonesia yang lembur hingga malam. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal budaya kerja dan struktur insentif.
Dalam konteks demokrasi dan keadilan sosial, produktivitas adalah jembatan menuju kesejahteraan. Negara dengan produktivitas tinggi mampu menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dengan waktu dan tenaga yang sama. Artinya, mereka bisa membayar pekerja lebih tinggi, menyediakan layanan publik lebih baik, dan membangun ekonomi yang lebih inklusif.
Sebaliknya, negara dengan produktivitas rendah akan terus berada dalam perangkap upah murah, ketimpangan tinggi, dan ketergantungan pada sektor informal. Ini menjadi beban bagi rakyat kecil yang harus bekerja lebih keras untuk hasil yang tetap kecil. Maka, memperjuangkan produktivitas adalah bentuk keberpihakan pada rakyat banyak.
Namun demikian Achmad berpendapat libur tetap menjadi hak pekerja, dan bukan kambing hitam. Pekerja yang cukup berlibur justru lebih sehat mental, lebih kreatif, dan lebih loyal terhadap institusinya. Tapi agar libur menjadi berkah, sistem kerja kita harus direformasi. Kita butuh budaya kerja yang menghargai hasil, bukan hanya kehadiran. Kita perlu birokrasi yang gesit, bukan hanya ramai. Pemerintah harus menjadi pelopor. Digitalisasi pelayanan publik, simplifikasi proses administrasi, dan penerapan sistem kerja berbasis output harus menjadi standar.
Dunia usaha pun mesti berubah, dengan mendorong fleksibilitas kerja, evaluasi berdasarkan kinerja, dan bangun lingkungan kerja yang mendukung inovasi. Untuk itu Dunia Kerja membutuhkan insentif dari Pemerintah.
Nah belajar dari negara ASEAN lainnnya, bagi Achmad efisiensi adalah akar. Malaysia mungkin memiliki hari libur lebih sedikit, tapi yang utama adalah bagaimana mereka membangun sistem kerja yang terorganisir dan efisien. Singapura bahkan lebih jauh lagi: dengan sedikit tenaga kerja lokal, mereka memaksimalkan talenta melalui pendidikan berkualitas, insentif inovasi, dan sistem kerja yang memotong birokrasi.
"Indonesia boleh saja memiliki libur terbanyak di ASEAN. Tapi jangan sampai itu menjadi alasan untuk rendahnya produktivitas. Justru dengan libur yang cukup, kita bisa menjadi bangsa yang lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih siap bekerja secara efektif. Kuncinya bukan pada jumlah hari kerja, tapi pada bagaimana kita mengisinya," tandas Achmad.

