AS Cemas Konsolidasi Global South, Minta India Kurangi Peran di BRICS+
JAKARTA, investortrust.id - Amerika Serikat (AS) melayangkan pernyataan eksplisit mengenai peran India sebagai mitra dagangnya. Dikutip dari South China Morning Post, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick Baru-baru ini telah meminta New Delhi untuk membuka pasar, mengurangi pembelian senjata dari Moskow, dan mengurangi perannya di BRICS+.
Lutnick optimistis kesepakatan dagang AS dan India akan menemukan titik terang. “Saya rasa, India berusaha keras untuk menjadi salah satu negara pertama (yang mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS. Ini yang saya hargai,” kata Lutnick di acara promosi hubungan ekonomi AS-India yang digelar di Washington, Senin lalu.
Baca Juga
Mampukah BUMN Setor Dividen Rp 125 Triliun Lebih Setahun?
Kekuatan Penyeimbang
Ekonom dari Universitas Andalas Sumatera Barat Syafruddin Karimi mengatakan, permintaan AS kepada India, atau mungkin Indonesia, untuk keluar dari BRICS+ merupakan pengakuan implisit atas pengaruh dan kredibilitas organisasi negara-negara berkembang tersebut. BRICS+ dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang tatanan dunia yang didominasi Barat.
“Permintaan semacam itu mencerminkan kecemasan strategis Washington terhadap konsolidasi Global South. Kekuatan (BRICS+) mulai menantang dominasi dolar, IMF, dan lembaga multilateral berbasis AS,” ujar Syafruddin, Kamis (05/06/2025).
Baca Juga
Syafruddin menjelaskan bagi publik global, tekanan seperti itu memperlihatkan BRICS+ bukan sekadar forum simbolik, melainkan telah menjadi instrumen nyata dalam membentuk arsitektur ekonomi-politik alternatif. Oleh karena itu, tekanan Washington bisa berdampak sebaliknya, memperkuat daya tarik BRICS+ sebagai blok strategis bagi negara-negara yang ingin mempertahankan kedaulatan dan memperluas otonomi kebijakan.
“(BRICS+) menolak dikotomi lama antara "with US or against US,” ujar dia.
Syafruddin mengatakan upaya AS membujuk India keluar dari BRICS+ akan semakin sulit, mengingat ketergantungan India pada rantai pasok global yang masih dikendalikan oleh Cina, khususnya dalam hal mineral kritis. Mineral ini menjadi komponen vital dalam industri kendaraan listrik, pertahanan, dan energi hijau.
“Saat Cina membatasi ekspor mineral kritis, India -- sebagaimana Jepang dan Uni Eropa -- justru berlomba mendapatkan izin dari Beijing untuk menghindari disrupsi industri strategisnya,” kata dia.
Ketergantungan ini menunjukkan bahwa India tidak bisa sepenuhnya mengandalkan AS. Apalagi, ketika Washington sendiri gagal menjamin pasokan mineral kritis dan justru memicu instabilitas dengan kebijakan penaikan tarif impor sepihak.
“Dalam konteks ini, BRICS+ memberi India ruang strategis untuk memperkuat kerja sama teknologi dan sumber daya dengan Cina dan Rusia, tanpa harus tunduk pada kepentingan geopolitik AS yang semakin konfrontatif,” ucap dia.

