JAKARTAinvestortrust.id - Indonesia berpeluang mendapatkan manfaat ekonomi hingga US$ 1,8 miliar dengan memperbaiki kebijakan dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Hal ini seiring meningkatnya permintaan pasokan listrik energi terbarukan di kawasan Asia-Pasifik dari perusahaan-perusahaan global, sebagai upaya melakukan dekarbonisasi bisnis mereka.

 

Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Asia Clean Energy Coalition (ACEC) bertajuk "Asia's Clean Energy Breakthrough: Unlocking Corporate Procurement for Sustainable Growth". Mengacu laporan ini, ketersediaan pasokan listrik energi terbarukan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, masih di bawah permintaan yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di kawasan.



Baca Juga

Mampukah BUMN Setor Dividen Rp 125 Triliun Lebih Setahun?

 

Terbesar Masih dari Energi Fosil
Di Indonesia, meski memiliki potensi energi terbarukan seperti surya dan angin yang melimpah, 81% pasokan listrik nasional masih berasal dari energi fosil. Namun, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 ditargetkan penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 42,6 gigawatt (GW).

 

Jika Indonesia mampu meningkatkan bauran energi terbarukan ke 29% pada 2030, Indonesia berpotensi memperoleh tambahan manfaat ekonomi senilai US$ 1,8 miliar, menciptakan hampir 140 ribu pekerjaan baru, serta meningkatkan total upah pekerja hingga US$ 1,4 miliar. Tak hanya itu, Indonesia juga dapat mengurangi emisi karbon hingga 25 juta ton CO2.

 

“Pergeseran mendasar sedang terjadi dalam geografi permintaan energi terbarukan oleh perusahaan swasta, dan Asia berada di tengah-tengah transisi ini. Meningkatkan kebijakan energi terbarukan di Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Indonesia, dan Singapura dapat meningkatkan PDB regional sebesar US$ 26,86 miliar, menciptakan 435 ribu lapangan kerja baru, dan meningkatkan total upah sebesar US$ 14,63 miliar,” kata Direktur Program ACEC Suji Kang, Rabu (4/6/2025).

 

Sejumlah hal menjadi tantangan bagi Indonesia untuk meraup manfaat ekonomi energi terbarukan. Beberapa di antaranya yakni arah kebijakan yang tidak merefleksikan tingginya permintaan listrik energi terbarukan dari perusahaan, serta minimnya mekanisme pembelian listrik oleh perusahaan.

 

Baca Juga

Mendagri Izinkan Pemerintah Daerah Gelar Rapat di Hotel dan Restoran


Oleh karena itu, laporan ini merekomendasikan agar Indonesia mencantumkan target energi terbarukan secara eksplisit dalam kebijakan nasional dan komitmen iklim (nationally determined contribution/NDC). Selain itu, mempercepat implementasi skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau power wheeling; membuka opsi penerapan Corporate Purchase Power Agreement (CPPA)—di mana perusahaan dapat membeli listrik langsung dari pembangkit listrik energi terbarukan.

 

Tidak hanya itu, pemerintah juga diharapkan dapat memperjelas kepemilikan sertifikat energi terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC) antara PLN dan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Reformasi regulasi yang menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi yang menarik juga sangat diperlukan guna memastikan keberlanjutan transisi energi nasional.

 

“Anggota RE100 siap untuk berinvestasi dalam transisi energi di Asia, namun ambisi mereka harus diimbangi oleh para pembuat kebijakan agar peralihan ke energi terbarukan terjadi dengan cepat dan pada skala besar seperti yang kita butuhkan,” kata Kepala RE100 dan The Climate Group Ollie Wilson.