Tak Lagi Gunakannya Pakem Globalisasi, KEM-PPKF 2026 Didesain Antisipatif
JAKARTA, investortrust.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan desain Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) didesain untuk merespons berbagai potensi perubahan perekonomian global. Langkah ini dilakukan karena tiap negara kini cenderung masuk dalam kebijakan yang bersifat proteksionisme.
“Negara-negara tidak lagi menggunakan pakem globalisasi yang selama ini dianut dalam empat dekade terakhir. Kondisi ini akan menimbulkan konsekuensi perdagangan,” kata Sri Mulyani saat paparan APBN KitA, dikutip Senin (26/05/2025).
Meski demikian, Indonesia diharapkan dapat memosisikan diri lebih baik untuk menangkap peluang yang ada. RI jangan sampai hanya diliputi ketidakpastian.
Baca Juga
Dana Asing Terus Masuk, Rupiah Makin Perkasa terhadap Dolar dan Yen
Melindungi Dunia Usaha dan Daya Beli
Menkeu mengatakan APBN 2026 memiliki dua strategi utama, jangka pendek dan menengah. Untuk jangka pendek, APBN 2026 akan didesain untuk menjaga stabilitas ekonomi, melindungi dunia usaha dan daya beli masyarakat, serta mengamankan keberlanjutan APBN.
Sementara, strategi jangka menengah diarahkan untuk memenuhi delapan program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ini mencakup ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis, program pendidikan, program kesehatan, pembangunan desa, koperasi, dan UMKM, serta pertahanan semesta dan percepatan investasi.
Baca Juga
Target Rasio Pendapatan Realistis
Sementara itu, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky melihat alasan Sri Mulyani mengenai faktor eksternal hanya menjadi pembenaran. Sebab, pemerintah belum mengakui secara tegas dan menjelaskan tentang kondisi sebenarnya yang sedang tidak baik-baik saja. “Postur makro fiskal tahun 2026, bisa dibaca sebagai pengakuan keadaan tahun depan tidak cukup baik,” kata Awalil dalam keterangan resminya.
Berdasarkan dokumen KEM-PPKF, postur makro fiskal jangka menengah APBN menetapkan batas bawah dan atas untuk pendapatan negara serta hibah, masing-masing 11,71%-12,22% dari produk domestik bruto (PDB). Belanja negara ditetapkan dalam rentang 14,19% hingga 14,75% dari PDB.
Keseimbangan primer ditetapkan -0,18% hingga -0,22% dari PDB. Sementara, defisit anggaran berada dalam rentang 2,48% hingga 2,53% dari PDB. Adapun debt ratio didesain dalam rentang 39,69% hingga 39,85% dari PDB.
Awalil menilai, target rasio pendapatan negara dalam KEM-PPKF 2026 cukup realistis. Ini dengan melihat realisasi komponen itu pada APBN 2024 dan APBN 2025 yang didesain masing-masing 12,84% dan 12,36% dari PDB.
Tetapi, di sisi lain, desain KEM-PPKF tersebut mengakui sulitnya meningkatkan pendapatan. “Narasi pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, seolah masih menolak mengakui kinerja pendapatan yang menurun. Penurunan telah dinilai banyak ekonom dan pengamat sebagai indikasi pelemahan aktivitas ekonomi, yang sedang tidak baik-baik saja,” ucap dia.
Melihat angka-angka yang dipaparkan, Awalil menyebut postur penerimaan perpajakan jangka menengah tahun 2026-2029 bersifat harapan. Sasaran bawah, justru realistis untuk dicapai.
“Batas bawah sebagai berikut: 2026 sebesar 10,08% (PDB), 2027 10,29%, 2028 10,75%, dan 2029 11,52%,” kata dia.
Penurunan signifikan terlihat pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berada pada kisaran 1,63% hingga 1,76% dari PDB. Awalil menduga perpindahan laba BUMN yang biasanya diterima pemerintah ke Danantara membuat desain ini muncul. Selain itu, pemerintah mungkin memproyeksikan harga komoditas yang dianggap tidak akan naik dan cenderung menurun.
“Sementara, produksi belum diyakini akan meningkat signifikan,” ujar dia.

