Amerika Secara Natural Proteksionis, Mengapa?
Oleh Anthony Budiawan,
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
13 Mei 2025
INVESTORTRUST.ID - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif impor tambahan resiprositas kepada hampir seluruh negara mitra dagang, pada 2 April 2025. Ini termasuk kepada sekutunya, seperti Inggris, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang.
Indonesia kena tarif resiprositas 32%, yang pemberlakuannya ditunda 90 hari per 9 April. Ini di luar tarif dasar 10% yang diberlakukan bagi semua negara per 2 April, tarif Most Favoured Nation (MFN) yang sebelumnya sudah diberlakukan AS, dan tarif tambahan sektoral 25% untuk komoditas tertentu seperti besi dan baja, aluminium, mobil, dan suku cadang mobil. Vietnam juga kena tarif resiprositas tinggi (46%), demikian pula banyak negara lain seperti India, Pakistan, Thailand, dan Malaysia, yang kini juga mendapat penangguhan yang sama.
Sedangkan Cina awalnya dikenakan tarif resiprositas 54%, kemudian beberapa kali dinaikkan hingga mencapai 145% dan diretaliasi Cina dengan tarif hingga 125% atas produk AS. Namun pada Minggu lalu, AS dan Tiongkok sepakat menangguhkan sementara sebagian besar tarif resiprositas selama 90 hari sebagai bagian dari 'gencatan' perang dagang. Kini diturunkan menjadi 30% untuk produk Cina dan Tiongkok mengurangi tarif atas barang AS menjadi 10%.
'DNA' AS
Dunia terkejut dan banyak yang mengumpat, Trump tidak normal. Dunia tidak mengerti, mengapa Amerika, negara kapitalis terbesar dunia, yang dipercaya menganut paham ekonomi klasik liberal dan free-trade ala Adam Smith, bisa menjalankan sistem ekonomi protektif.
Padahal, sebenarnya, dunia tidak perlu terkejut dengan kebijakan tarif impor Trump. Amerika memang tidak pernah mempunyai ‘DNA’ sebagai negara penganut pasar bebas. Sebaliknya, AS mempunyai sejarah panjang, bahkan sejak merdeka, sebagai negara penganut paham merkantilisme atau sistem ekonomi protektif, yang berkebalikan dengan sistem ekonomi klasik pasar bebas.
Sejak deklarasi kemerdekaan, AS terlibat perang kemerdekaan melawan Inggris tahun 1775-1783. Pemilu pertama AS kemudian dilaksanakan pada 1788/1789. Menteri Keuangan AS yang pertama, Alexander Hamilton, kemudian memutuskan untuk menaikkan tarif impor pada tahun 1790, untuk memperkuat pembangunan industri AS.
Hal ini tertuang dalam laporan Hamilton kepada Kongres AS pada Desember 1791, yang berjudul Report on Manufactures. Ini menjadi cikal bakal “the American System” yang dipopulerkan oleh Henry Clay (politisi dan menteri luar negeri 1825–1829).
Di dalam report itu dijelaskan arah kebijakan industri AS, dengan mengadopsi sistem ekonomi protektif ala merkantilisme di satu sisi dan sistem subsidi di lain sisi. Sistem proteksi untuk melindungi industri dalam negeri termasuk infant industry, sedangkan sistem subsidi untuk meningkatkan daya saing.
Sistem ekonomi protektif ini kemudian diikuti oleh banyak presiden-presiden AS berikutnya, dan berlangsung selama 140 tahun. Selama periode 1790 sampai 1930, tarif impor AS merupakan yang tertinggi di dunia. Tarif impor naik tajam pada periode 1790-1828, dengan tarif tertinggi mencapai 60% lebih. Tarif impor kemudian turun menjadi 18% pada periode 1830-1857. Tarif impor kembali naik tajam selama periode perang saudara berlangsung (1861-1865), dan bertahan sampai awal tahun 1900-an.

Tarif dan Konflik
Amerika Serikat secara konsisten menjalankan kebijakan ekonomi protektif ala merkantilisme selama lebih kurang 1,5 abad, dan menghadapi segala konsekuensi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari dalam negeri, pemerintahan Andrew Jackson menghadapi ancaman disintegrasi dari negara bagian Carolina Selatan, yang menolak kenaikan tarif (nullification crisis).
Presiden Jackson menyampaikan dengan tegas dalam pidatonya di depan Kongres awal tahun 1833, bahwa negara bagian wajib taat terhadap keputusan pemerintahan Federal menaikkan tarif impor untuk memperkuat industri dalam negeri. Jackson bahkan sempat mengirim tentara ke perbatasan negara bagian Carolina Selatan, untuk mengantisipasi kalau penolakan tarif meluas dan menjadi perlawanan senjata.
Sejak saat itu, penolakan “Selatan” terhadap kebijakan tarif tinggi semakin meluas, dan akhirnya turut menjadi memicu perang saudara pada 1861. “Selatan” yang ketika itu fokus pada ekonomi pertanian merasa dirugikan, karena tarif membuat harga produk impor alat-alat pertanian menjadi lebih mahal.
Tarif dan Kemakmuran
Abraham Lincoln mengatakan, "Give us a protective tariff, and we shall have the greatest nation on earth". Sejarah AS kemudian membenarkan pernyataan Lincoln.
Sejarah AS membuktikan, kebijakan proteksi dan subsidi pada akhirnya membuat industri dan ekonomi AS menjadi yang terkuat di dunia, melampaui Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini dibuktikan di medan perang dunia pertama dan kedua, industri pertahanan AS ternyata sangat superior.
The London Daily Mail menulis pada tahun 1900. "We have lost to the American manufacturer electrical machinery, locomotives, steel rails, sugar-producing and agricultural machinery, and latterly even stationary engines, the pride and backbone of the British engineering industry".
Presiden AS Thoedore Roosevelt dalam pidatonya tahun 1902 juga mengatakan dengan bangga, bahwa sistem proteksi telah membawa kemakmuran bagi rakyat AS. "The country has acquiesced in the wisdom of the protective-tariff principle. It is exceedingly undesirable that this system should be destroyed or that there should be violent and radical changes therein. Our past experience shows that great prosperity in this country has always come under a protective tariff," paparnya.
Usai perang dunia kedua, ekonomi Amerika Serikat menjadi yang terbesar di dunia. Dalam rangka membangun ekonomi dunia pascaperang, Amerika Serikat menurunkan tarif impornya secara sukarela, bukan resiprositas, agar produk luar negeri bisa dijual di AS. Penurunan tarif ini kemudian membuat Amerika menjadi salah satu negara dengan tarif impor terendah di dunia.
Dampak dari kebijakan tarif tecermin di dalam neraca perdagangan. Neraca perdagangan AS mengalami surplus selama periode kebijakan protektif tarif tinggi, dan kemudian defisit sejak tahun 1970 sampai sekarang.

Menurut Presiden Donald Trump, defisit tersebut tidak bisa ditoleransi lagi. Sejak periode kepresidenan pertamanya, Trump sudah mencoba menjalankan kebijakan protektif, dengan menaikkan tarif impor cukup tinggi untuk beberapa produk, dan dari beberapa negara khususnya Cina. Hal ini rupanya tidak efektif.
Pada periode kedua ini, Trump menaikkan tarif impor cukup tinggi yang membuat masyarakat dunia tercengang. Tetapi, kalau melihat sejarah tarif AS, tarif resiprositas Trump termasuk biasa-biasa saja, dibandingkan tarif Jackson atau yang diberlakukan Presiden AS ke-25 William McKinley.
Sejarah tarif AS menunjukkan bahwa Negeri Paman Sam secara natural adalah negara penganut sistem ekonomi protektif ala merkantilisme. Amerika menjalankan sistem ekonomi ini secara konsisten dan berani menanggung apa pun risikonya, termasuk risiko perang.
Pemimpin dari partai Republican lebih militan dalam membela kepentingan negara dan bangsa dalam menjalankan sistem ekonomi protektif ini. Donald Trump hanya salah satu dari mereka.
Kalau ada yang mengira Trump hanya menggertak, harus berpikir dua kali. Harap belajar dari sejarah, agar Indonesia dapat memperoleh hasil maksimal dalam perundingan tarif dengan AS. ***

