AS-China “Berdamai”, Ini Dampak Positif dan Negatifnya bagi Indonesia
JAKARTA, investortrust.id - Amerika Serikat (AS) dan China memilih “berdamai” dengan tidak memperpanjang perang tarif. Kondisi ini akan berdampak positif berupa pulihnya kembali harga komoditas andalan Indonesia dan menguatnya nilai tukar rupiah. Tetapi ada pula dampak negatifnya.
AS dan China pada Senin (12/5/2025) untuk sementara sepakat menangguhkan sebagian besar tarif yang bakal diberlakukan terhadap masing-masing negara. Kesepakatan ini mencakup pemangkasan tarif timbal balik dari 125% menjadi hanya 10%. Namun, tarif 20% terhadap fentanyl tetap diberlakukan, sehingga total tarif terhadap China masih sekitar 30%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, meredanya perang tarif antara AS dan China mendatangkan sentimen positif bagi harga komoditas Indonesia.
“Harga komoditas ekspor Indonesia diperkirakan pulih sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China yang selama ini menopang ekspor Indonesia,” kata Bhima kepada investortrust.id, Selasa (13/5/2025).
Baca Juga
AS-China Pangkas Tarif, Harga Minyak Melonjak ke Level Tertinggi Dua Pekan
Di sisi lain, menurut Bhima, situasi itu turut menahan pelemahan lebih lanjut nilai tukar rupiah, sehingga inflasi barang impor (imported inflation) dapat ditekan. “Cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah,” jelas Bhima.
Meski begitu, kata Bhima Yudhistira, dampak rendahnya tarif impor dari China akan menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia ke AS, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki.
“Itu bisa direbut oleh China. Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi,” tutur dia.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menduga harga energi dunia akan tetap moderat. Soalnya, Donald Trump diprediksi tetap mempertahankan posisi mengeksploitasi minyak bumi, gas alam cair (LNG), dan batu bara. Kondisi ini akan menekan harga tiga komoditas tersebut di level global.
Harga minyak melonjak sekitar 1,5% dan mencapai level penutupan tertinggi dalam dua pekan pada Senin (12/5/2025), setelah AS dan China sepakat untuk sementara memangkas tarif yang bakal dikenakan kepada masing-masing negara.
Minyak Brent naik US$ 1,05 atau 1,6% menjadi US$ 64,96 per barel. Sedangkan West Texas Intermediate (WTI) menguat 93 sen atau 1,5% ke level US$ 61,95 per barel. Keduanya mencatatkan level penutupan tertinggi sejak 28 April 2025.
Baca Juga
Terobosan Perang Dagang: AS-China Sepakat Pangkas Tarif Selama 90 Hari
Risiko ke APBN
Di pihak lain, ekonom Universitas Andalas Sumatera Barat, Syafruddin Karimi mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia bisa berdampak langsung ke APBN 2025. Apalagi jika dalam waktu bersamaan, kurs rupiah melemah.
Dia menjelaskan, berdasarkan asumsi makro APBN 2025, harga minyak mentah nasional (ICP) dipatok US$ 82 per barel, sedangkan kurs rupiah ditetapkan Rp 15.000 per dolar AS.
Jika harga minyak dunia melonjak dan nilai tukar melemah, defisit APBN akan melebar dari rencana sekitar 2,29% terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Pemerintah dihadapkan pada trade-off antara melindungi konsumsi domestik melalui subsidi, atau menjaga disiplin fiskal,” ujar Syafruddin.
Tantangan ini, menurut Syafruddin, akan makin berat ketika suku bunga global naik. “Kalau suku bunga naik, beban bunga utang akan membesar,” tandas dia.
Menurut Bhima Yudhistira, kondisi di dalam negeri belum menentu di Tengah isu perang tarif, meski AS melunak, bahkan mencapai kesepakatan baru dengan China. Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya akan tergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan Donald Trump kepada Indonesia.
Bhima mengemukakan, jika AS memberlakukan tarif impor dari China lebih rendah, industri di Indonesia akan kembali relokasi ke China. Sebaliknya, investasi dari AS dan Eropa bakal lebih masif membanjiri China dibanding negara alternatif lainnya, termasuk Indonesia.
Baca Juga
Kadin Ungkap Nilai Perdagangan Indonesia-AS Bisa Tembus US$ 80 Miliar Seusai Negosiasi Tarif
“Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah pada kuartal-I 2025 investasi langsung atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terkontraksi 7,4% dibanding kuartal sebelumnya,” papar dia.
Bhima menyarankan pemerintah Indonesia lebih agresif melobi AS dengan menggunakan pembaruan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport.
Saran lainnya, pemerintah perlu menempatkan isu Laut China Selatan ke meja negosiasi untuk menekan posisi AS. Isu ini bisa mendorong China memberikan tarif lebih rendah. Sebab, sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China.
Dari sisi pengawasan, Bhima menyarankan pemerintah mewaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi.
“Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS,” ujar dia.

