Asing Memburu SBN Rp 11,13 Triliun Sepekan, Apa yang Terjadi?
JAKARTA, investortrust.id - Berdasarkan kondisi perekonomian global dan domestik terkini, Bank Indonesia menyampaikan perkembangan indikator stabilitas nilai rupiah pekan ini. Investor asing memburu Surat Berharga Negara (SBN) RI dengan net buy Rp 11,13 triliun di tengah memburuknya prospek ekonomi Amerika Serikat dan Cina di era perang tarif, sehingga mendorong pemodal asing berbalik mencatatkan penjualan bersih di pasar keuangan dalam negeri, dari minggu lalu yang net sell.
"Kami laporkan aliran modal asing Minggu IV April 2025, berdasarkan data transaksi 21-24 April, non-resident tercatat beli neto sebesar Rp 2,36 triliun. Ini terdiri dari jual neto sebesar Rp 1,33 triliun di pasar saham, beli neto sebesar Rp 11,13 triliun di pasar SBN, dan jual neto sebesar Rp 7,44 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI)," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangan di Jakarta, Jumat (25/04/2025) malam.
Berdasarkan data BI selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen hingga 24 April, non-resident tercatat masih jual neto sebesar Rp 48,79 triliun di pasar saham, dan jual neto sebesar Rp 12,64 triliun di SRBI. Namun, pemodal asing membukukan beli neto menembus Rp 18,50 triliun di pasar SBN.
Menariknya, asing justru memburu obligasi pemerintah NKRI di tengah tren suku bunga SBN cenderung sudah turun lagi. Imbal hasil SBN ini juga di bawah instrumen operasi moneter Bank Indonesia SRBI dengan tenor terlama 12 bulan.
Sementara itu pada minggu III April 2025, berdasarkan data transaksi 14-16 April, non-resident tercatat jual neto sebesar Rp 11,96 triliun. Ini terdiri dari beli neto Rp 3,28 triliun di pasar SBN, serta jual neto Rp 13,01 triliun di pasar saham dan net sell Rp 2,24 triliun di SRBI.
Baca JugaPerusahaan Mark Zuckerberg Meta Kembali PHK Ratusan Karyawan
Selain itu, premi CDS Indonesia 5 tahun per 24 April 2025 turun menjadi 98,96 bps, dibanding dengan 18 April 2025 sebesar 104,87 bps. CDS adalah suatu jenis perlindungan atau proteksi atas credit event (resiko kredit).
"Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait. Selain itu, mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia," ujar Denny.
Rupiah Menguat
Denny juga menyampaikan perkembangan nilai tukar pada 21-25 April 2025. "Pada akhir hari Kamis, 24 April 2025, rupiah ditutup pada level (bid) Rp 16.865 per dolar AS dan yield SBN 10 tahun naik terbatas ke 6,93%. Dari eksternal, DXY (indeks dolar) tercatat menguat ke level 99,38 dan imbal hasil UST (US Treasury) Note 10 tahun turun ke 4,315%," papar Denny.
Indeks dolar menunjukkan pergerakan dolar AS terhadap 6 mata uang negara utama lainnya, yakni euro (EUR), yen Jepang (JPY), pound sterling Inggris (GBP), dolar Kanada (CAD), krona Swedia (SEK), dan franc Swiss (CHF). Sedangkan UST Note merupakan surat utang negara yang dikeluarkan pemerintah AS dengan tenor 1-10 tahun.
Baca Juga
"Pada pagi hari Jumat, 25 April 2025, rupiah dibuka pada level (bid) Rp16.800 per dolar AS. Sedangkan yield SBN 10 tahun turun ke 6,91%," ujar Denny.
Meski rupiah sudah mulai rebound, namun masih jauh terpuruk dibanding nilai tukar rupiah dalam asumsi APBN 2025 sebesar Rp 16.000 per dolar AS.
Utang Indonesia Aman
Sementara itu, utang pemerintah Indonesia tercatat aman sesuai regulasi RI, di tengah kondisi global yang makin meningkat ketidakpastiannya. Utang ini terbesar dalam bentuk SBN, dengan porsi kepemilikan domestik sangat dominan.
Berdasarkan data Kemenkeu yang diolah Investortrust.id, total utang pemerintah Indonesia Rp 8.900,13 triliun per Januari 2025. Porsi SBN mencapai 87,74% atau Rp 7.817,23 triliun. SBN mayoritas Rp 6.280,13 triliun dalam denominasi rupiah (70,49% dari total utang pemerintah RI) dan sisanya Rp 1.537,11 triliun dalam denominasi valas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kepemilikan non-resident di SBN turun. Per 22 April 2025, porsi kepemilikan asing mencapai 14,25% atau menurun dibandingkan 27 Maret sebesar 14,3%.
Data CEIC Data dan International Monetary Fund (IMF) mencatat, rasio utang pemerintah Indonesia masih sesuai regulasi yakni maksimal 60% produk domestik bruto (PDB). Batas atas rasio utang terhadap PDB menurut Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 adalah 60%.
Di antara ASEAN-5, Indonesia juga masih mempertahankan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang relatif rendah, yakni sekitar 39,2% pada 2024. Hal ini mencerminkan kebijakan fiskal yang hati-hati. Sedangkan, Singapura menunjukkan rasio utang tinggi yang diperkirakan mencapai 165% terhadap PDB, yang sebagian besar disebabkan oleh strategi pengelolaan utang yang berbeda, demikian pula besaran akumulasi cadangan devisa dan investasinya.
Berdasarkan data IMF dan CEIC Data yang diolah, pada tahun 2024, utang pemerintah RI sekitar US$ 529 miliar dan PDB sekitar US$ 1,35 triliun. Sementara itu, pemerintah Negara Kota Singapura yang bertetanggaan memiliki utang menembus US$ 926,5 miliar dan PDB sekitar US$ 561,73 miliar.
Utang Jepang 200% Lebih PDB
Sementara itu, pada tahun 2024, rasio utang pemerintah Jepang terhadap PDB masih luar biasa tinggi, menembus 200% lebih. Rasio utang negara di Asia Timur ini diestimasi 216,2% terhadap PDB, dengan utang sekitar US$ 13,64 triliun dan PDB US$ 6,31 triliun.
Sedangkan rasio utang pemerintah Amerika Serikat terhadap PDB diperkirakan sekitar 126,0% tahun lalu. Hal ini dengan estimasi utang sekitar US$ 34,0 triliun dan PDB US$ 27,0 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto sebelumnya mengatakan, utang terbesar pemerintah Indonesia saat ini berada di SBN, khususnya Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ia menegaskan, tingkat rasio utang pemerintah RI terhadap PDB relatif terus stabil di kisaran 39%, meski nominal utang per Januari 2025 naik.
Berdasarkan catatan posisi utang pemerintah pusat dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan 2024, nilai per Januari 2025 menembus Rp 8.909,14 triliun. Ini naik sekitar 1,22% dibanding posisi Desember 2024 Rp 8.801,09 triliun.
Suminto mengatakan, dengan total utang pemerintah pusat yang sebesar Rp 8.909,14 triliun Januari, rasionya terhadap PDB atau debt to GDP ratio sebesar 39,6%. Ini sedikit lebih rendah dari rasio utang terhadap PDB per Desember 2024 yang sebesar 39,7% meski nominal utangnya lebih rendah Rp 8.801,09 triliun.
Berdasarkan catatan CEIC Data dan IMF, tren utang-utang pemerintah secara global menunjukkan peningkatan signifikan. Hal ini lantaran tingginya tantangan fiskal yang dihadapi banyak negara akibat dampak pandemi Covid-19, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan perlambatan ekonomi dunia.
Kinerja Industri Pengolahan Makin Ekspansif
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso mengatakan, kinerja industri pengolahan RI juga tetap terjaga. "Kinerja Lapangan Usaha (LU) Industri Pengolahan pada triwulan I-2025 berada pada fase ekspansi (indeks >50%). Ini tecermin dari PMI-BI triwulan I-2025 sebesar 51,67%, lebih tinggi dari triwulan IV-2024 sebesar 51,58%," ungkapnya dalam keterangan di Jakarta, 25 April 2025.
Tertinggi Industri Mamin
Berdasarkan komponen pembentuknya, lanjut Denny, mayoritas komponen berada pada fase ekspansi yaitu Volume Total Pesanan, Volume Persediaan Barang Jadi, Volume Produksi, dan Total Jumlah Tenaga Kerja. Berdasarkan Sublapangan Usaha (Sub-LU), sebagian besar Sub-LU berada pada fase ekspansi, dengan indeks tertinggi pada Industri Makanan dan Minuman, diikuti oleh Industri Alat Angkutan dan Industri Furnitur.
"Perkembangan tersebut sejalan dengan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia, yang mengindikasikan kinerja kegiatan LU Industri Pengolahan tetap tumbuh dengan nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 0,67%," ujar Denny.
Baca Juga
Pada triwulan II-2025, kinerja LU Industri Pengolahan diprakirakan juga tetap terjaga dan berada pada fase ekspansi. Hal ini tecermin pada prakiraan PMI-BI sebesar 51,92%.
Berdasarkan komponen pembentuknya, mayoritas komponen diprakirakan berada pada fase ekspansi dengan indeks tertinggi pada komponen Volume Produksi, diikuti Volume Total Pesanan, Volume Persediaan Barang Jadi, dan Total Jumlah Tenaga Kerja. Sementara, komponen Penerimaan Barang Pesanan Input diprakirakan membaik meski masih berada pada fase kontraksi.
"Mayoritas Sub-LU juga diprakirakan berada pada fase ekspansi. Indeks tertinggi pada Industri Kayu, Barang dari Kayu, Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya, diikuti oleh Industri Pengolahan Tembakau dan Industri Logam Dasar," paparnya.

