Tarif Trump Tetap Berlaku Sementara, Tapi Kelanjutannya Masih Dipertanyakan
WASHINGTON, investortrust.id - Presiden AS Donald Trump diizinkan untuk tetap memungut tarif impor, sementara Gedung Putih mengajukan banding terhadap putusan pengadilan yang membatalkan kebijakan tarif luas itu.
Sehari sebelumnya, Kamis (28/5/2025), Pengadilan Perdagangan Internasional memutuskan bahwa undang-undang darurat tidak memberikan kewenangan sepihak bagi presiden untuk memberlakukan tarif terhadap hampir seluruh negara di dunia.
Baca Juga
Dinilai Lampaui Wewenang, Pengadilan AS Batalkan Tarif Luas Trump
Pengadilan yang berbasis di New York menyatakan bahwa Konstitusi AS memberikan kekuasaan eksklusif kepada Kongres untuk mengatur perdagangan dengan negara lain, dan hal ini tidak dapat diabaikan oleh kewenangan presiden dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Kelompok usaha kecil dan beberapa negara bagian AS menggugat kebijakan tarif ini yang telah mengguncang tatanan perdagangan global.
Siapa yang Menggugat?
Dilansir BBC, gugatan didasarkan pada dua kasus terpisah. Liberty Justice Center, sebuah organisasi nonpartisan, menggugat atas nama beberapa usaha kecil yang mengimpor barang dari negara-negara yang dikenai tarif. Sementara itu, koalisi pemerintah negara bagian juga menggugat kebijakan pajak impor ini.
Kedua gugatan tersebut menjadi tantangan hukum besar pertama terhadap tarif Trump yang dikenal sebagai "Liberation Day Tariffs" dan dibawa ke Pengadilan Perdagangan Internasional, bagian dari sistem peradilan federal yang memiliki kewenangan khusus atas masalah perdagangan.
Panel hakim yang terdiri dari tiga orang menyatakan bahwa International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) tahun 1977, yang dijadikan dasar hukum oleh Trump, tidak memberikan presiden kewenangan untuk memberlakukan tarif impor secara luas.
Pengadilan juga memblokir serangkaian tarif terpisah yang dikenakan terhadap Tiongkok, Meksiko, dan Kanada, yang diklaim pemerintah sebagai respons terhadap arus narkotika dan imigran ilegal ke AS. Namun, pengadilan tidak diminta untuk mempertimbangkan tarif terhadap barang tertentu seperti mobil, baja, dan aluminium yang menggunakan dasar hukum berbeda.
Reaksi terhadap Putusan
Trump mengunggah pesan panjang di platform Truth Social miliknya untuk mengkritik keputusan pengadilan dan para hakim yang terlibat.
"Presiden Amerika Serikat harus diizinkan untuk melindungi negaranya dari pihak-pihak yang merugikan secara ekonomi dan finansial," tulis Trump.
Namun, Jaksa Agung Negara Bagian New York Letitia James, yang mewakili salah satu dari 12 negara bagian penggugat, menyambut baik keputusan tersebut.
"Hukum sudah jelas: tidak ada presiden yang berhak menaikkan pajak semaunya sendiri," ujar James, dikutip dari BBC, Sabtu (31/5/2025).
Kelanjutan Tarif Trump
Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan pada 5 Juni. Jika terus bergulir, kasus ini berpotensi dibawa ke Mahkamah Agung AS. Namun, bahkan jika Trump kalah di sana, hal itu belum tentu mengakhiri kebijakan tarifnya.
Putusan tersebut mencatat bahwa presiden masih memiliki kewenangan untuk memberlakukan tarif hingga 15% selama 150 hari dalam menanggapi ketidakseimbangan neraca perdagangan yang dianggap darurat. Analis Goldman Sachs memperkirakan tarif baru bisa diterapkan dalam hitungan hari jika jalur ini ditempuh.
Trump juga bisa kembali menggunakan undang-undang lama yang ia pakai pada masa jabatan pertamanya, yang berfokus pada isu keamanan nasional dan praktik dagang tidak adil. Namun, jalur ini membutuhkan investigasi resmi dan periode komentar publik sebelum dapat diberlakukan.
Menurut Goldman Sachs, Trump bisa saja mencoba menggunakan bagian dari Undang-Undang Perdagangan tahun 1930 yang belum pernah diuji di pengadilan, yang memungkinkan presiden untuk menetapkan tarif hingga 50% terhadap negara-negara yang "mendiskriminasi" produk AS.
Awal Tarif dan Dampaknya
Pada 2 April, Trump mengumumkan kebijakan tarif global yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengenakan tarif dasar 10% terhadap sebagian besar mitra dagang AS, serta tarif tambahan kepada puluhan negara dan blok perdagangan seperti Uni Eropa, Inggris, Kanada, Meksiko, dan Tiongkok.
Trump berpendapat bahwa kebijakan ekonomi menyeluruh ini akan mendorong industri manufaktur AS dan melindungi lapangan kerja, sekaligus membuka negosiasi ulang atas perjanjian dagang yang dinilai merugikan.
Namun, pasar global terguncang sejak pengumuman tersebut. Trump kemudian melunak dengan menunda atau menurunkan beberapa tarif.
Untuk saat ini, John Leonard, mantan pejabat senior Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS, mengatakan kepada BBC bahwa belum ada perubahan di lapangan dan tarif tetap harus dibayar.
"Jika banding pemerintah gagal, maka Bea Cukai akan menginstruksikan petugasnya untuk mengembalikan pembayaran tersebut," ujar Leonard.
Putusan awal juga menimbulkan ketidakpastian dalam negosiasi dagang AS dengan negara lain. Pemerintah AS sebelumnya menyatakan di pengadilan bahwa posisinya dalam negosiasi akan melemah jika tarif dibatalkan.
Paul Ashworth dari Capital Economics menyatakan bahwa putusan tersebut "jelas akan mengacaukan upaya pemerintahan Trump untuk menuntaskan kesepakatan dagang selama masa jeda 90 hari dari tarif."
Ia memprediksi bahwa negara-negara lain akan "menunggu dan melihat" perkembangan selanjutnya.
Pemerintah Inggris dan AS baru-baru ini mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif terhadap sejumlah barang yang diperdagangkan antar kedua negara.
Kesepakatan tersebut mencakup penghapusan atau penurunan tarif atas produk ekspor utama Inggris ke AS seperti mobil, baja, dan aluminium. Bagian dari kesepakatan ini tidak terpengaruh oleh putusan pengadilan.
Namun, tarif menyeluruh sebesar 10% atas sebagian besar produk asal Inggris kini dipertanyakan legalitasnya.
Belum jelas bagaimana aspek ini akan berubah, karena kesepakatan tersebut masih dalam proses implementasi. Pemerintah Inggris belum memberikan komentar, namun menyatakan pihaknya bekerja agar pelaku usaha Inggris dapat segera menikmati manfaat kesepakatan.

