Digitalisasi Bansos: Menjaga Akurasi, Mencegah Kebocoran
JAKARTA, investortrust.id - Transformasi digital dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) bukan lagi sekadar wacana. Pemerintah Indonesia kini bersiap menerapkan digitalisasi penuh dengan integrasi teknologi kecerdasan buatan (AI) dan biometrik dalam penyaluran bansos nasional mulai 2026. Agenda ambisius ini diawali dengan uji coba pada Agustus 2025, dan jika berhasil, dapat menghemat anggaran negara hingga Rp 100 triliun per tahun.
Lebih dari sekadar mengganti platform dari manual ke digital, langkah ini mencerminkan perubahan paradigma dalam tata kelola bansos dari sistem yang rawan manipulasi menjadi sistem berbasis data, transparan, dan akuntabel.
Pemerintah menyatakan, pada tahun 2024 terdapat sekitar 96,7 juta jiwa yang tercatat sebagai penerima manfaat dalam skema perlindungan sosial. Angka ini melonjak menjadi 102 juta jiwa pada tahun 2025, seiring rencana digitalisasi total.
Peningkatan jumlah penerima, di satu sisi, menunjukkan upaya pemerintah menjangkau lebih banyak kelompok rentan. Namun di sisi lain, ini memunculkan tantangan baru dalam validasi dan verifikasi data penerima.
Selama ini, permasalahan mendasar dalam penyaluran bansos terletak pada dua jenis kesalahan distribusi: exclusion error (orang yang layak tetapi tidak menerima bantuan) dan inclusion error (orang yang tidak layak justru menerima bantuan).
“Pertama adalah exclusion error. Orang yang seharusnya dapat, malah gak dapat bansos. Kedua adalah inclusion error. Orang yang seharusnya tidak dapat malah dapat,” jelas Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, kepada investortrust.id, Minggu (8/6/2025).
Ia menambahkan bahwa akar masalahnya adalah ketidakterpaduan dan validitas data penerima bansos, terutama di daerah. Sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), menurut Huda, masih belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Yang paling utama adalah data harus diperbaiki. Data Registrasi Sosial Ekonomi BPS harusnya bisa digunakan untuk melihat data orang miskin by name by address,” katanya.
Sebelumnya Data Bappenas tahun 2024 mengungkapkan bahwa 46% penerima bansos tidak tepat sasaran akibat exclusion dan inclusion error. Sementara awal bulan Juni ini, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf, menyebut ada sekitar 45% bantuan seperti PKH dan sembako salah sasaran karena penerimanya tidak masuk kelompok masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pemerintah gencar menggunakan data tunggal sosial ekonomi nasional (DTSEN) sebagai acuan utama untuk menyalurkan bantuan agar lebih akurat.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa dari total 20,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang masuk DTSEN, sebanyak 16,5 juta telah diverifikasi oleh BPKP. Hasilnya, hanya 14,3 juta yang benar-benar tergolong dalam desil 1 sampai 4, kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin. Sisanya, sekitar 2,2 juta KPM, termasuk 1,9 juta yang sudah dicoret dari daftar, dinilai tidak lagi layak menerima bantuan.
Peran AI dan Biometrik
Penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan biometrik menjadi kunci dalam transformasi ini. AI akan digunakan untuk menyocokkan data antarsistem, mendeteksi anomali distribusi, hingga mempercepat proses pengecekan identitas penerima. Di sisi lain, biometrik seperti pemindaian wajah (face recognition) atau sidik jari akan menjadi alat verifikasi utama di lapangan.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga penghematan besar.
“Nanti yang menerima atau tidak bisa dari face recognition. Dengan begitu akan menghemat Rp 100 triliun. Jadi dengan digitalisasi, kita akan menghemat banyak sekali dana-dana ke depan,” tegas Luhut dalam peluncuran program Sahabat AI beberapa waktu lalu.
Jika dihitung secara sederhana, bansos yang tidak tepat sasaran selama ini diperkirakan mencapai Rp 225 triliun per tahun, dengan asumsi total anggaran subsidi dan bansos dari APBN sekitar Rp 500 triliun. Melalui DTSEN dan sistem digitalisasi, pemerintah menproyeksikan bisa menghemat 45%–56% dari kebocoran tersebut. Artinya, potensi penghematan yang realistis berada di kisaran Rp101–127 triliun.
Baca Juga
45% Bansos Tidak Tepat Sasaran, 1,9 Juta KPM Dicoret dari Daftar Penerima Manfaat
Pemerintah pun menyiapkan integrasi lintas sistem data, termasuk melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial, dan Dinas Sosial di berbagai daerah.
Namun, penerapan biometrik tidak lepas dari sorotan. Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyambut baik langkah tersebut, tetapi mengingatkan pentingnya sistem perlindungan data.
“Biometrik ini akan disimpan di mana, dan bagaimana sistem penyimpanannya, karena ini merupakan data pribadi yang sifatnya spesifik. Harus dikelola dan diperlakukan secara berbeda dibanding data publik,” ujar Heru lewat sambungan suara.
Ia menambahkan bahwa kebocoran data di Indonesia sudah terlalu sering terjadi. Pengamat teknologi siber itu pun mengambil contoh kebocoran data KTP hingga nomor telepon yang sering meresahkan masyarakat.
“Kalau sampai biometrik ini bocor, dan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, ini akan menjadi masalah besar,” tegasnya.
Selain itu, Heru juga mempertanyakan urgensi biometrik jika verifikasi penerima bisa dilakukan melalui rekening bank atau sistem pos yang selama ini cukup akurat. “Kalau sudah ada sistem lain yang berjalan baik, apakah perlu memaksa penggunaan biometrik?” tanyanya.
Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid memastikan bahwa agenda digitalisasi bansos merupakan bagian dari visi besar Presiden Prabowo dalam reformasi digital pelayanan publik. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan dukungan dari mitra internasional.
“Penyaluran bansos digital adalah salah satu yang tadi kita pikirkan bersama dan kita diskusikan bersama,” ujar Meutya usai melakukan audiensi dengan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) audiensi bulan lalu.
Meutya menambahkan bahwa kerja sama tersebut mencakup identifikasi area prioritas. “Dari berbagai concern atau isu tadi, mana yang akan kita prioritaskan untuk menjadi kerja sama antara kedua institusi,” ujarnya.
Baca Juga
Pemerintah Pastikan Penyaluran Bansos Sudah Gunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional
Kesiapan Daerah
Meski agenda pusat begitu kuat, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Nailul Huda menyebut, persoalan terbesar adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat daerah.
“Terkadang mereka tidak paham harus menggunakan data yang mana. Pada akhirnya mereka menggunakan data sendiri yang tingkat validasinya rendah,” ujarnya. Akibatnya, penyaluran bansos jadi tidak objektif. “Siapa yang dekat pemerintah desa, ya mereka yang dapat bansos,” tambahnya.
Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya pelatihan digital bagi aparat desa dan kecamatan, serta mekanisme pengawasan yang melibatkan publik.
Edukasi dan Perlindungan
Menurut Heru Sutadi, salah satu risiko besar dari sistem digital adalah kurangnya literasi masyarakat terhadap keamanan data pribadi. Terlebih digitalisasi bukan hanya soal membangun sistem, tetapi juga soal membangun kepercayaan publik.
“Kalau masyarakat tidak paham data apa saja yang boleh dibagikan dan bagaimana hak mereka dilindungi, maka digitalisasi ini bisa menjadi bumerang,” katanya.
Ia mengusulkan agar ada kampanye nasional tentang perlindungan data pribadi dan sosialisasi biometrik sebelum sistem ini diterapkan secara masif.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan bahwa masyarakat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) tidak tertinggal dalam proses digitalisasi. Konektivitas internet, akses perangkat digital, dan pelatihan menjadi aspek krusial yang tak boleh diabaikan.
Baca Juga
Bansos Zaman 'Now' Pakai Teknologi AI dan Bisa Hemat Rp 100 Triliun
Banyak pihak sepakat bahwa digitalisasi bansos adalah langkah ke arah yang benar. Namun, transformasi ini hanya akan sukses jika dibarengi dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik. Bukan sekadar mengganti metode dari manual ke digital, melainkan perubahan paradigma.
Pemerintah pun menegaskan bahwa bansos digital harus menjamin keadilan dan keberpihakan pada masyarakat miskin, yang selama ini sering kali tertinggal dari reformasi sistem. Langkah ini juga diharapkan menutup celah korupsi, seperti yang diungkapkan Heru.
"Selama ini manipulasi data bisa terjadi. Misalnya dilaporkan penerima seribu dua ratus orang, padahal realitanya hanya seribu. Dengan sistem biometrik, markup semacam itu bisa ditekan.” jelasnya
Teknologi untuk Keadilan Sosial
Banyak negara yang telah sukses mengimplementasikan digitalisasi perlindungan sosial. Meski tidak ada benchmark dari negara tertentu, namun Indonesia bisa meniru negara lain seperti India, Brasil, dan Kenya yang berhasil menyalurkan bansos secara digital dan efisien. Sementara di negara Eropa seperti Estonia, Denmark, dan Belanda menjadikan digitalisasi bukan sekadar memindahkan proses ke sistem elektronik, tapi juga membangun ekosistem data yang valid, perlindungan privasi yang ketat, dan pelayanan publik yang efisien.
Transformasi digital bansos 2025 adalah ujian besar bagi negara dalam menggunakan teknologi untuk mewujudkan keadilan sosial. Kebijakan ini bukan sekadar proyek teknologi, tapi bentuk nyata reformasi sosial yang menjangkau lapisan terbawah masyarakat.
Jika berhasil, bansos digital akan menjadi bukti bahwa teknologi dapat menjadi alat keberpihakan negara terhadap rakyat kecil, bukan hanya efisiensi anggaran apalagi kebijakan populis semata, tetapi juga pemenuhan hak yang adil dan setara untuk masyarakat Indonesia.
Lebih dari itu, digitalisasi bansos mencegah rekayasa, korupsi, dan kebocoran dana yang selama ini menjadi isu krusial distribusi dan alokasi bantuan untuk kaum dhuafa tersebut. ***

